Kamis, 28 Mei 2009

. Kamis, 28 Mei 2009

EKSPRESI ESTETIS DAN MAKNA SIMBOLIS
KESENIAN LAESAN

Eny Kusumastuti
Staf Pengajar Seni Tari, Sendratasik, FBS UNNES
eny_unnes@yahoo.com

Abstrak

Kesenian Laesan adalah salah satu kesenian tradisional kerakyatan yang merupakan hasil ekspresi estetis masyarakat dengan fenomena trance didalamnya. Di dalam trance inilah muncul simbol-simbol yang tersirat dalam pertunjukan Laesan, yang kemudian diinterpretasikan sendiri oleh penonton dan diwujudkan melalui pola-pola kelakuan masyarakat Bajomulyo. Dari fenomena tersebut, masalah yang perlu dikaji adalah bentuk ekspresi estetis, dan makna simbolis kesenian Laesan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan teknik pengumpulan data wawancara, observasi pastisipan dan studi dokumentasi. Teknik analisis data dengan cara mereduksi, mengklarifikasi, mendeskripsikan, menyimpulkan dan menginterpre-tasikan semua informasi secara selektif. Teknik Pemeriksaan keabsahan data menggunakan dependabilitas dan konfirmabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesenian Laesan mempunyai bentuk ekspresi estetis yang terdapat dalam a) bagian awal pertunjukan, inti pertunjukan dan bagian akhir pertunjukan. b)unsur-unsur pendukung pertunjukan meliputi perlengkapan pentas; gerak tari; iringan; rias dan busana; dan ruang pentas. Simbol-simbol yang membentuk makna dalam proses interaksi simbolik meliputi dupa, sesaji, nyanyian pengiring, makna trance dalam Laesan. Saran yang disampaikan adalah kesenian Laesan perlu dikemas kembali supaya menjadi lebih baik dan memiliki nilai jual tinggi, perlu dilestarikan dan diwariskan kepada generasi berikutnya untuk menghindari kepunahan.

Kata Kunci : laesan, laes, ekspresi estetis, makna simbolis, trance


PENDAHULUAN
Kesenian Laesan merupakan hasil ekspresi estetis masyarakat desa yang hidup dan berkembang dengan menggunakan simbol-simbol tertentu. Kesenian
Laesan ini muncul karena adanya kepercayaan masyarakat kepada roh nenek moyang yang menguasai laut, dan memberi kehidupan pada masyarakat desa Bajomulyo. Sebagai ucapan syukur atas hasil laut yang melimpah, masyarakat nelayan mengadakan upacara mengundang roh nenek moyang dalam sebuah pertunjukan Laesan.
Kesenian Laesan memiliki keunikan tersendiri, yaitu adanya pemeran laki-laki dalam pertunjukan tersebut yang merupakan media masuknya roh nenek moyang yang disebut bidadari, sehingga terjadilah trance. Di dalam adegan trance inilah, muncul simbol-simbol yang tersirat dalam pertunjukan Laesan. Simbol-simbol ini nampak pada setiap syair yang mengandung mantra untuk mengiringi setiap adegan trance, sesaji, gerak-gerak pelaku tarinya, sampai dengan segala perlengkapan pertunjukan tersebut. Simbol-simbol ini dipahami sebagai manifestasi kebudayaan masyarakat pantai.

Persoalan cerita, persoalan pertunjukan dan komunitas masyarakat yang mempertunjukan dan menyaksikan tontonan tersebut saling melakukan interpretasi terhadap simbol-simbol dari produk kesenian tersebut. Berbagai konsep seni yang menarik dalam kesenian Laesan, mulai dari proses penuangan ekspresi estetis masyarakat, makna simbol Laes dalam masyarakat setempat serta masyarakat asal-usulnya, sampai kepada proses lisan teks dan proses pertunjukannya, tentu mempunyai berbagai konsep simbol yang menarik untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami dan menjelaskan bentuk ekspresi estetis, makna simbolik dan pola-pola kelakuan masyarakat Bajomulyo dalam menghayati makna simbolik kesenian Laesan tersebut.

Ekspresi estetis merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tergolong ke dalam kebutuhan integratif. Dalam pemenuhan kebutuhan estetis ini, kesenian menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Kesenian merupakan unsur integratif yang mengikat dan mempersatukan pedoman-pedoman bertindak yang berbeda-beda menjadi suatu desain yang bulat, menyeluruh dan operasional serta dapat diterima sebagai hal yang bernilai. Kedudukan seni menjadi pengintegrasi yang merefleksikan konfigurasi dari desain itu (Suparlan dalam Rohidi 2000: 29).

Dilihat sebagai pedoman, kesenian memberi pedoman terhadap berbagai kelakuan manusia yang bertalian dengan keindahan, yang pada dasarnya mencakup kegiatan berkreasi dan kegiatan berapresiasi. Yang pertama, kesenian menjadi pedoman bagi pelaku, penampil atau pencipta, untuk mengekspresikan kreasi artistiknya dan berdasarkan pengalamannya mereka mampu memanipulasi media guna menyajikan suatu karya seni. Yang kedua, kesenian memberi pedoman pada pemanfaat, pemirsa atau penikmat, untuk mencerap karya seni dan berdasarkan pengalamannya mereka dapat melakukan apresiasi dengan cara menyerap karya seni untuk menumbuhkan kesan estetis tertentu (Mills 1971: 68). Dalam pengertian ini tersirat bahwa kesenian menjadi pedoman bagi terwujudnya suatu komunikasi estetis antara pencipta atau penampil seni dengan penikmat atau pemanfaat seni melalui karya seni yang diciptakan dalam ruang lingkup kebudayaan yang bersangkutan (Wuthnow dkk 1984: 109-111).

Kesenian Laesan adalah kesenian tradisional kerakyatan yang merupakan cerutu ekspresi dari masyarakat yang hidup di luar istana atau dari kalangan rakyat jelata. Dalam kaitannya dengan seni tari, tarian rakyat ini merupakan alat ekspresi atau bahasa gerak rakyat jelata di luar istana untuk mengungkapkan ide, gagasannya. Tari tradisional kerakyatan mempunyai sifat magis dan sakral, mengutamakan ungkapan ekspresi jiwa mereka yang didominasi oleh kehendak atau keyakinan, bahwa dengan imitasi gerak, mereka dapat mengundang roh nenek moyang( Soedarsono 1978: 3).
Kesenian Laesan hidup di masyarakat pesisir, terutama pesisir Jawa Tengah. Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang hidup di sepanjang pantai dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Ada titik wilayah yang menarik, sebagai tempat hidupnya kesenian Laesan, seperti Pati, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes. Di pesisir bagian barat, kesenian Laesan mempunyai perbedaan yang terletak pada pemeran utamanya. Pemeran utama pada kesenian Laesan adalah seorang laki-laki yang disebut dengan Lais, sementara di pesisir barat pemeran utama dalam kesenian tersebut adalah perempuan yang kemudian disebut sintren. Persamaannya terletak pada tata urutan penyajian, dan perlengkapan pentas.

Menurut pembagian kesenian di Asia Tenggara yang dilakukan oleh Brandon (1967), kesenian Laesan ini merupakan seni tradisi rakyat, seni yang ada dalam keseharian masyarakat di wilayahnya, sehingga tidak akan dapat dirunut siapa penciptanya, karena seni pertunjukan rakyat ini hidup dalam kolektiva masyarakat.
Kesenian Laesan mengandung simbol-simbol yang mempunyai makna dalam. Simbol adalah segala sesuatu (benda material, peristiwa, tindakan, ucapan, gerakan manusia) yang menandai atau mewakili sesuatu yang lain atau segala sesuatu yang telah diberi makna tertentu (Geertz dalam Triyanto 2001: 20). Simbol atau lambang mempunyai makna atau arti yang dipahami dan dihayati bersama dalam kelompok masyarakatnya. Simbol atau lambang memiliki bentuk dan isi atau disebut makna. Bentuk simbol merupakan wujud lahiriah, sedangkan isi simbol merupakan arti atau makna.

Proses simbolik terjadi pada saat manusia menciptakan simbol dengan cara membuat suatu kesepakatan tentang sesuatu untuk menyatakan sesuatu. Menurut Hayawaka (1949: 25), proses simbolik terdapat pada semua tingkat peradaban manusia dari yang paling sederhana sampai pada yang telah maju, dari kelompok masyarakat paling bawah sampai pada kelompok yang paling atas. Dalam proses interaksionisme simbolik meletakkan tiga landasan aktivitas manusia dalam bersosialisasi ialah : 1) sifat individual, 2) interaksi dan, 3) interpretasi. Substansinya meliputi : 1) manusia hidup dalam lingkungan simbol-simbol, serta menanggapi hidup dengan simbol-simbol juga, 2) melalui simbol-simbol, manusia memiliki kemampuan dalam menstimuli orang lain dengan cara yang berbeda dari stimuli orang lain tersebut, 3) melalui komunikasi simbol-simbol dapat dipelajari arti dan nilai-nilai, dan karenanya dapat dipelajari pula cara-cara tindakan orang lain, 4) simbol, makna dan nilai selalu berhubungan dengan manusia, kemudian oleh manusia digunakan untuk berpikir secara keseluruhan dan bahkan secara luas dan komplek, dan 5) berpikir merupakan suatu proses pencarian, kemungkinan bersifat simbolis dan berguna untuk mempelajari tindakan-tindakan yang akan datang, menafsirkan keuntungan dan kerugian relatif menurut penilaian individual, guna menentukan pilihan (George 1985: 62-63).

METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan telaah tekstual atau simbolik yang biasa juga disebut sebagai telaah hermeneutik. Kajian penelitian ini difokuskan pada bentuk ekspresi estetik, makna simbolik dalam kesenian Laesan. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi partisipan dan studi dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada analisis Miles dan Huberman (1994 :10), dimana proses analisis data yang digunakan secara serempak mulai dari proses pengumpulan data, mereduksi, mengklarifikasi, mendeskripsikan, menyimpulkan dan menginterpretasikan semua informasi secara selektif . Langkah terakhir dari analisis data adalah verifikasi atau pemeriksaan keabsaahan data, dengan menggunakan dependabilitas dan konfirmabilitas (Lincoln dan Guba dalam Jazuli 2001: 34). Data yang didapat dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi selanjutnya ditafsirkan hingga penarikan kesimpulan lewat pengkajian silang dengan pakar atau teman sejawat. Di samping itu juga menggunakan member cheking yakni meminta pengecekan dari informan, pemain dan penonton.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekspresi Estetis Kesenian Laesan
Laesan adalah sebuah kesenian rakyat yang tumbuh didaerah Pesisir yang merupakan perpaduan antara nyanyian dan tarian. Laesan berubah menjadi Laisan karena adanya dialek pada masyarakat setempat. Apabila ditinjau secara morfologis, Laisan berasal dari kata Lais yang mendapat akhiran –an. Lalis artinya “mati” dan –an berarti “ seperti atau seolah-olah mati” (Poerwadarminta 1983: 258). Lalis dapat berubah menjadi Lais karena adanya peristiwa haplologi yaitu proses perubahan dimana sebuah kata kehilangan suatu silabe atau suku kata ditengah-tengahnya. Kata Lalis kehilangan satu suku kata sehingga menjadi Lais (Sundoro wawancara 6 Agustus 2006).
Dalam pementasan Laesan, penari utama dilakukan oleh seorang laki-laki yang disebut Lais. Seperti dikemukakan oleh Raflles (dalam Koentjaraningrat 1993: 128) bahwa apabila tarian ini ditarikan oleh seorang pria maka disebut dengan Laesan sebaliknya apabila tarian ini ditarikan oleh seorang perempuan disebut Sintren. Pementasan kesenian Laesan selalu menggunakan magi (Pardi wawancara 20 Agustus 2006). Menurut Kusno (wawancara 20 Agustus 2006), apabila ditinjau dari tata cara pementasan tari Laesan, yang didahului dengan membakar kemenyan dan mengundang Bidadari, dapat diperkirakan bahwa tindakan ini merupakan sisa-sisa upacara religius yang berubah fungsinya menjadi kesenian tradisional.

Para pendukung kesenian Laesan sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan seperti halnya Sastro Pardi yang berperan sebagai pelaku utama. Menurut Pardi (wawancara 20 Agustus 2006) bahwa untuk menjadi pemeran utama dalam kesenian Laesan tidak memerlukan ilmu tertentu. Dengan kata lain kemampuan itu datang dengan sendirinya. Kemampuan itu datang secara turun temurun dari generasi tua ke generasi penerusnya. Akan tetapi tidak semua orang mampu menjadi pelaku utama dalam kesenian Laesan ini, karena kemampuan tersebut bukanlah sebuah ilmu yang dapat dipelajari seperti halnya sihir atau ilmu sulap, tetapi datang dengan sendirinya hanya cukup dengan hening cipta di tengah kepulan asap kemenyan di dalam kurungan.
Menurut pengakuan Sastro Pardi, setiap menjadi pelaku utama Laesan selalu didatangi oleh empat bidadari dan seorang kakek tua berjenggot putih panjang yang tidak mau disebut namanya. Sedangkan empat bidadari tersebut semuanya memakai nama depan pewayangan, yaitu Nawang Wulan, Nawang Sari, Nawang Sasi dan Nawangsih. Sedangkan kakek tua tersebut selalu mengikuti kemanapun bidadari tersebut pergi. Semua bidadari tersebut tidak mengenal tua, karena sejak pertama kali Sastro Pardi berperan sebagai pelaku utama untuk yang pertamakalinya sampai sekarangpun bidadari tersebut masih tetap muda.

Kesenian Laesan juga mempunyai seorang pemimpin yang bertugas untuk mengatur segala apa saja selama proses pertunjukan berlangsung. Tugas seorang pemimpin adalah mempersiapkan kebutuhan Laesan, misalnya mengantar Laes ke tengah arena pertunjukan untuk menjalankan tugasnya sebagai Laes. Seorang pemimpin pertunjukan Laesan belum tentu menjadi pawang, tetapi tugasnya adalah membakar kemenyan, menyediakan sesaji, mengomando iringan serta nyanyian agar Laes bisa menjadi trance.
Bentuk kesenian Laesan sangat sederhana baik dalam garapan maupun cara melakukannya, namun keindahannya tetap menjadi pertimbangan dalam penyajiannya. Ekspresi estetis masyarakat Bajomulyo yang dituangkan melalui media kesenian Laesan tercermin dalam tata urutan penyajiannya yang meliputi aspek-aspek urutan penyajian, dan unsur-unsur pendukung kesenian Laesan.
Urutan penyajian pertunjukan kesenian Laesan dimulai dari bagian awal pertunjukan, bagian pertunjukan itu sendiri dan bagian akhir pertunjukan.

Bagian Awal Pertunjukan
Pertunjukan Laesan dimulai dengan membakar kemenyan terlebih dahulu. Setelah pemimpin pertunjukan membakar kemenyan dan asapnya mulai mengepul, baru kemudian dimasukkan ke dalam kurungan yang sudah dibalut dengan kain. Disamping itu, nyanyian pembukaan juga mulai diperdengarkan sehingga mengundang perhatian penonton untuk datang menonton. Lagu-lagu yang dinyanyikan misalnya Kembang Manggar, Kembang Gedhang, Kembang Anggrek, Rujak Cengkir, Rujak Uni, Rujak Nanas, dan masih banyak lagu-lagu yang dinyanyikan kelompok penembang sampai penonton berdatangan memenuhi arena pertunjukan. Nyanyian-nyanyian tersebut mempunyai nilai yang bermacam-macam yang ditujukan bagi penonton pertunjukan kesenian Laesan.

Bagian Pertunjukan
Setelah penonton berkumpul dan perlengkapan pentas sudah siap, maka pemimpin pertunjukan menjemput pelaku utama Laesan untuk memasuki arena pentas. Kemudian pemimpin pertunjukan mengambil sesaji yang ada di pinggir untuk dibawa ke tengah arena pentas. Laes (pelaku utama) masuk ke tengah arena pementasan kemudian duduk di tengah arena pertunjukan dengan menghadap ke timur dalam keadaan hening dan berkonsentrasi penuh sebelum ditutup dengan kurungan. Bersamaan dengan mengalunnya lagu, kurungan yang sudah penuh dengan asap dari kemenyan ditutupkan pada Laes tersebut yang dilanjutkan dengan nyanyian untuk mendatangkan roh Bidadari. Roh Bidadari didatangkan dengan maksud agar Laes menjadi trance, yaitu melakukan perbuatan di luar kemampuan manusia biasa.
Menurut Suparman (wawancara 13 Agustus 2006) bahwa nyanyian yang berupa mantra dalam kesenian Laesan itu dinyanyikan secara bersama-sama oleh sekelompok penembang dengan harapan kekuatan gaib yang ada di alam gaib turun di dunia. Setelah Bidadari datang, pelaku utama (Laes) memberitahu pemimpin pertunjukan dengan memberi isyarat kurungan digerak-gerakan. Apabila kurungan bergerak-gerak, merupakan pertanda pelaku Laesan sudah mulai trance, maka kurungan segera dibuka. Dalam keadaan mata terpejam, pelaku tersebut berdiri dan berjalan kesana kemari mengitari arena pertunjukan. Gerakan yang dilakukan oleh Laes bukan atas kemauannya sendiri melainkan karena adanya roh yang memasuki tubuhnya. Setelah dianggap cukup dinikmati oleh penonton, Laes yang masih dalam keadaan trance dimasukkan lagi ke dalam kurungan sebagai tanda pergantian atraksi selanjutnya.

Pertunjukan Laesan mempunyai beberapa atraksi yang ditampilkan secara acak atau tidak berurutan, tetapi sesuai dengan kemauan atau permintaan Laes. Setiap atraksi yang akan dilakukan disampaikan kepada pemimpin pertunjukan agar disampaikan kepada penembang (penyanyi) dan penabuh instrumen (gamelan). Atraksi-atraksi yang biasa ditampilkan antara lain, yaitu : 1) Bandan, 2) Uculana Bandan, 3) Permainan Keris.
Dalam atraksi bandan (diikat), Laes yang masih dalam kurungan kemudian diberi seutas tali yang panjangnya kira-kira lima meter oleh pemimpin pertunjukan. Kemudian pemimpin pertunjukan meminta kepada penembang agar lagunya berganti dengan lagu bandan (permainan tali). Di dalam kurungan, Laes mengikat tubuhnya sendiri dengan tali tersebut. Setelah kurungan bergerak-gerak, pemimpin pertunjukan membuka kurungan agar Laes dapat dilihat penonton. Ternyata dalam keadaan mata terpejam, seluruh tubuh Laes terikat tali mulai dari leher, badan dan kedua tangannya. Posisi ikatan kedua tangan berada dibelakang tubuh. Maksud dari atraksi ini untuk menunjukkan bahwa yang mengikat tubuh Laes dengan bentuk ikatan demikian adalah Bidadari bukan Laes itu sendiri.
Setelah dianggap cukup memuaskan penonton, Laes dimasukkan kembali kedalam kurungan untuk melakukan proses melepaskan ikatan tali yang ada di tubuhnya. Proses melepaskan ikatan tali tersebut diiringi dengan lagu tertentu. Selama kurang lebih lima menit, para penembang menyanyi dengan khidmat dan serempak, setelah itu kurungan dibuka. Tampaklah Laes sudah terbebas dari ikatan tali yang melilit tubuhnya. Selanjutnya Laes menari mengitari arena pertunjukan dengan mata terpejam untuk kemudian melakukan permainan berikutnya yaitu atraksi permainan keris.
Pada atraksi permainan keris, pelaku utama (Laes) diberi sebilah keris. Laes dalam keadaan tidak sadar menusukkan keris pada tubuhnya sendiri, antara lain pada paha, perut dan dahi. Anehnya meski ditusuk, tubuh Laes tersebut tidak terluka sedikitpun. Persyaratannya adalah menggunakan keris yang bukan luk, karena keris yang mempunyai luk mudah patah apabila ditusukkan pada tubuh Laes. Apabila keris yang diberikan pada Laes masih memiliki kekuatan gaib maka keris tersebut akan hilang pada waktu dipegang oleh Laes selama trance (Pardi wawancara 20 Agustus 2006).

Bagian Akhir Pertunjukan
Sebagai penutup seluruh rangkaian pertunjukan Laesan, pemimpin pertunjukan mengembalikan Laes agar sadar seperti semula. Kemenyan yang ada di tepi arena pentas dikipasi lagi agar asapnya keluar. Setelah asapnya mengepul, ditutup lagi dengan kurungan, agar asap tersebut memenuhi kurungan. Kemudian Laes dimasukkan lagi ke dalam kurungan yang sudah penuh asap kemenyan. Kembalinya bidadari ke surga, ditandai dengan sadarnya kembali Laes, dan selesailah keseluruhan pertunjukan kesenian Laesan.

Unsur-unsur Pendukung Penyajian Kesenian Laesan

Pemain
Pemain Kesenian Laesan terdiri dari perpaduan antara remaja putri dengan orang tua. Jumlah penari seluruhnya 27 orang yang terdiri dari penari, pengrawit, penembang dan pemimpin pertunjukan. Penari terdiri dari 1 orang sebagai pemeran utama (Laes), 1 orang pemain jaran kepang, 9 orang sebagai penari putri, 2 orang penabuh guci dan bambu, 9 orang sebagai penabuh gamelan Jawa. Pendukung lainnya adalah 3 orang penembang, 1 pemimpin pertunjukan dan 1 orang badhor.

Perlengkapan Pentas
Perlengkapan pentas yang harus disediakan adalah kurungan, kain polos penutup kurungan, kemenyan (menyan madu atau menyan wangi), arang, sabut kelapa, tali, keris, jaran kepang, dhedhak, padi, tampah lengkap dengan sesajinya yang terdiri dari pisang setangkep, degan, jajan pasar, uang, kembang telon, nasi tumpeng, nasi kuning, merang dan telo bakar. Semua perlengkapan ini disiapkan di tengah arena pentas kecuali yang digunakan penari yaitu keris.

Gerak
Gerak tari dalam pertunjukan kesenian Laesan terdiri dari dua jenis yaitu gerak tari yang representasional dan gerak tari yang non representasional. Gerak tari representasional ditunjukkan melalui gerak menusukkan keris ke tubuh penari, gerak menaiki kuda, makan padi, dan menirukan gerak monyet. Sedangkan gerak tari non representasional lebih mendominasi pertunjukan kesenian Laesan. Misalnya sembahan, sindhet, panggel, timpuh, ukel, penthangan, dan tumpang tali.

Iringan
Iringan dalam pertunjukan kesenian Laesan adalah bambu dan guci yang sudah menjadi ciri khas kesenian masyarakat pesisir, sebab bambu dan guci merupakan alat pokok yang selalu tersedia dalam perahu. Guci adalah tempat air minum yang diletakkan di atas perahu, sedangkan bambu adalah alat pengapung bagi perahu-perahu kecil. Di samping itu bambu juga berfungsi sebagai keseimbangan perahu agar tidak miring, sehingga disebelah tepi perahu diberi bambu untuk menjaga keseimbangan (Sutari, wawancara tanggal 20 Agustus 2006). Setelah mengalami perkembangan dan penggarapan musik, maka musik yang dipakai dilengkapi dengan kendhang, saron, bonang, kenong, kempul dan gong. Instrumen ini adalah instrumen Jawa sehingga pola iringan yang muncul adalah gangsaran, lancaran widodari mudhun, lancaran sulasih, sulandono, lancaran bandan, dan lancaran tusuk keris.

Tata Rias dan Busana
Pertunjukan kesenian Laesan tidak banyak memakai tata rias dan busana, akan tetapi lebih cenderung pada pemakaian busana sehari-hari saja. Pelaku utama kesenian Laesan menggunakan sarung dan kain ikat kepala. Semua penari tersebut di atas tidak menggunakan tata rias wajah. Sementara itu penari pendukung lainnya yaitu penari putri menggunakan rias cantik dengan memakai celana kain sebatas betis kaki warna hitam, kain lereng, kemben dilengkapi dengan rompi hitam dan sampur berwarna kuning, kalung, sabuk, pendhing,dan ikat kepala dari kain berwarna hitam. Demikian pula dengan penari pendukung putra, memakai celana kain sebatas betis warna hitam, kain lereng, rompi hitam, sampur berwarna kuning, sabuk, dan ikat kepala warna hitam.

Ruang Pentas atau Panggung
Pada umumnya kesenian tradisional menggunakan bentuk pentas lingkaran atau arena terbuka yang dapat dilaksanakan di segala tempat tanpa membutuhkan dekorasi atau penataan pentas yang rumit. Demikian pula halnya dengan kesenian Laesan, karena sifatnya sederhana dan kesenian ini diciptakan, ditampilkan oleh masyarakat setempat untuk dinikmati oleh masyarakat setempat pula maka kesenian Laesan dipentaskan di arena terbuka sehingga masyarakat dapat merasakan kebebasan dalam menikmati pertunjukan tersebut.

Makna Simbolik Kesenian Laesan
Ekspresi estetis masyarakat Bajomulyo dalam kesenian Laesan, ditandai dengan munculnya simbol-simbol tertentu yang pemaknaannya berdasarkan hasil interpretasi masyarakat itu sendiri. Simbol-simbol ini muncul atau tersirat dalam dupa lengkap dengan sesaji, nyanyian, gerak tari, dan trance.

Dupa (kemenyan) dan Sesaji
Dupa merupakan media penghubung antara manusia dan roh. Untuk bisa memanggil datangnya roh nenek moyang, terlebih dahulu harus membakar kemenyan sehingga bau harumnya akan sampai kepada roh yang dituju sehingga mau turun dan masuk ke tubuh Laes. Disamping dupa, sesaji tidak boleh terlupakan. Sesaji yang perlu disiapkan adalah pisang setangkep, degan, tukon pasar, uang, kembang telon, nasi tumpeng dan nasi kuning. Sesaji ini dibuat dan dipersiapkan di tengah arena guna keselamatan pelaku utama dan seluruh pendukung kesenian Laesan. Pisang setangkep melambangkan keutuhan, yang berarti segala uba rampe yang sudah disediakan sudah lengkap. Degan melambangkan minuman yang suci untuk minuman makhluk halus. Tukon pasar melambangkan perbuatan dan perjalanan ke semua penjuru mata angin agar mendapat keselamatan. Uang melambangkan pembeli. Kembang telon melambangkan tempat yang tinggi yang berarti kekuasaan yang tertinggi adalah Tuhan. Nasi kuning melambangkan sifat-sifat kemuliaan.

Nyanyian
Dalam kesenian Laesan ada beberapa lagu yang mengandung nilai-nilai tertentu serta mampunyai simbol tertentu, misalnya aspek pendidikan, sindiran kepada lelaki, sindiran kepada perempuan, peringatan kepada penduduk terhadap perampok. Contoh syair lagu yang mengandung sindiran terhadap lelaki mata keranjang, yaitu :
Kembang Manggar
Kembang manggar beluluk adhine cengkir (2x)
mindho mindho tanggane diaku bojo
(Bunga manggar beluluk adiknya cengkir
(2x)
tetangganya diakui sebagai istri)

Gerak Tari
Gerakan-gerakan tari yang diciptakan dalam kesenian Laesan melambangkan kehidupan mereka sebagai nelayan, yaitu gerak lengan dan tungkai. Gerak tungkai seperti orang berjalan biasa, sedangkan gerak lengan seperti orang yang mendayung perahu. Sementara itu gerak-gerak yang menirukan gerak alam sekitarnya misalnya pohon tertiup angin, pasir yang terbawa gelombang laut mempunyai makna simbolis alam sekitarnya dengan tujuan untuk mendatangkan roh nenek moyang.

Makna Trance Bandan
Trance dalam kesenian Laesan mempunyai makna yang dalam, yang tercermin pada permainan Bandan yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan dan bersujud kepada-Nya. Bandan (ikatan) selalu menunjuk kepada sebuah tali. Tali adalah lambang pengikat yang berarti mempererat. Kata mengikat berasal dari bahasa latin religare yang berarti mengikat yaitu mengikatkan diri kepada Tuhan (Herusatoto,1991:21).Di dalam religi biasanya mengandung sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat Tuhan. Di samping itu, bertujuan untuk mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewi atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. Dengan demikian makna trance dalam bandan pada tari Laesan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan dan bersujud kepada-Nya, karena Tuhanlah yang merupakan jalan menuju keselamatan sejati.

Makna Trance dalam Permainan Tusuk Keris
Keris dalam kesenian Laes merupakan lambang kesaktian yang digunakan untuk menusuk lawan apabila ada bahaya dari musuh yang mengancam. Dalam kesenian Laesan, keris tidak ditusukkan kearah lawan tetapi kearah diri sendiri. Menurut Suryadi (1993 : 40), keris mempunyai konsep lingga dan yoni. Keris merupakan lambang lingga, sedangkan kerangkanya merupakan lambang yoni. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa makna trance dalam permainan tusuk keris adalah kesuburan, karena keris yang merupakan lambang lingga ditusukkan ke dalam tubuh Laes yang sudah kemasukan roh bidadari sebagai lambang yoni.

Makna Trance dalam Permainan Jaran Kepang
Jaran kepang adalah kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu. Di dalam konsep hidup Jawa terdapat 5 A, yaitu wisma, curiga, kukila, wanita dan turangga. Turangga atau kuda tunggangan adalah sebagai lambang kuda tunggangan perang dari para prajurit yang memiliki sifat-sifat gagah, kuat dan lincah (Suryadi, 1993 : 150). Jaran kepang dalam kesenian Laesan memakan padi, rumput dan dhedhak. Hal ini menunjukkan bahwa yang makan sebetulnya bukan manusia tetapi roh yang telah masuk ke dalam tubuh pelaku. Sementara itu, roh ada yang baik dan ada yang jahat, semuanya diberi makan. Dengan demikian makna trance dalam permainan jaran kepang adalah adanya keseimbangan antara roh yang baik dan yang jahat dengan mendapatkan perlakuan yang sama sehingga akan manusia mendapatkan keselamatan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

Kesenian Laesan merupakan kesenian masyarakat pesisir yang dipakai sebagai media untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan tempat untuk menuangkan ekspresi estetis masyarakat Bajomulyo. Ekspresi estetis kesenian Laesan terdapat dalam : a) bagian awal pertunjukan, inti pertunjukan yang terdiri dari atraksi: bandan, uculana bandan dan permainan keris dan bagian akhir pertunjukan. b)unsur-unsur pendukung pertunjukan meliputi perlengkapan pentas; gerak tari; iringan; rias dan busana; dan ruang pentas.
Simbol-simbol yang membentuk makna dalam proses interaksi simbolik meliputi (1) dupa yaitu merupakan media penghubung antara manusia dan roh, (2) sesaji yang terdiri dari : pisang setangkep melambangkan keutuhan, yang berarti segala uba rampe yang sudah disediakan sudah lengkap, degan melambangkan minuman yang suci untuk minuman makhluk halus, tukon pasar melambangkan perbuatan dan perjalanan ke semua penjuru mata angin agar mendapat keselamatan, uang melambangkan pembeli, kembang telon melambangkan tempat yang tinggi yang berarti kekuasaan yang tertinggi adalah Tuhan, nasi kuning melambangkan sifat-sifat kemuliaan; (3) nyanyian pengiring mengandung simbol aspek pendidikan, sindiran kepada lelaki, sindiran kepada perempuan, peringatan kepada penduduk terhadap perampok; (4) gerak tari mempunyai simbol alam sekitarnya; (5) makna trance Bandan yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan dan bersujud kepada-Nya; permainan keris melambangkan kesuburan, karena keris yang merupakan lambang lingga ditusukkan ke dalam tubuh Laes yang sudah kemasukan roh bidadari sebagai lambang yoni; permainan jaran kepang mempunyai simbol keseimbangan antara roh yang baik dan yang jahat dengan mendapatkan perlakuan yang sama sehingga manusia akan mendapatkan keselamatan.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah setempat baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kesenian Laesan , yaitu :
Kesenian tradisional Laesan perlu dijaga kelestariannya dan dikembangkan untuk diturunkan ke generasi penerus.
2.1. Kesenian Laesan perlu dikemas dan digarap, baik dari segi gerak, iringan, tata rias dan busana menjadi lebih baik lagi dengan tidak merubah atau meninggalkan bentuk aslinya sehingga mempunyai nilai jual yang tinggi.
2.2. Perlu adanya penyuluhan dan pembimbingan manajemen produksi yang intensif guna memasarkan kesenian Laesan.
2.3. Perlu perhatian langsung dari pemerintah yang berwenang untuk mengangkat kesenian Laesan menjadi kesenian khas kota Pati.

DAFTAR PUSTAKA

Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Asia. Cambridge-Massachusetts: Harvad University Press.

Depdikbud. 1992. Mengenal Laesan Seni Tradisional Nelayan Kecamatan Juwana Kabupaten Pati dalam makalah seminar Kesenian Daerah Pati: Depdikbud.

George, Ritzer. 1985. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda . Penyadur Alimandan. Jakarta: CV Rajawali.

Harjawiyana, Haryana. 1986. Bentuk Ulang dalam Nyanyian Rakyat Jawa dalam Kesenian Bahasa Jawa dan Faktor Jawa. Yogyakarta: Depdikbud.

Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Jakarta: PT. Hanindita.

Hidayati Widayati. 2001. Bentuk Penyajian dan Trance dalam Kesenian Laesan di Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati. Skripsi. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang.

Humardani, 1982. Kumpulan Kertas Tentang kesenian. Surakarta : Proyek ASTI.

Jazuli, M. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PT.Balai Pustaka.

Langer, Susanne K. 1976. Feeling and Form. London: Handley.

Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa : Silang Budaya. Buku 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Penerbit UI Press.

Mulyana, Dedy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Read, Herbert. 2000. Seni, Arti, dan Problematikanya. Yogyakarta : Duta Wacana Press.

Rohidi, Tjetjep Rohendi. 1994. Pendekatan Sistem Sosial Budaya dalam Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Rosjid, Abdulrahman. 1979. Seni Tari III. Jakarta: Aqua Press.

Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: PT. Djaya Pirusa.

Suryadi, Linus. 1993. Regol Megal Megol Kosmogoni Jawa. Yogyakarta: Andi Offset.

Soedarsono. 1978. Pengantar Pengetahuan Tari. Yogyakarta: ASTI.

Soeprapto. 2002. Interaksionisme Simbolik. Malang: PT. Averroes Press.

Todorove, Tzvetan. 1977. Theories of The Symbol. Itaca. New York: Cornel University

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com