IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DALAM PENDIDIKAN SENI BUDAYA
KAJIAN SMP KOTA SEMARANG
Eny Kusumastuti
ABSTRAK
Mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya merupakan pendidikan yang berbasis budaya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah : (1) kebijakan Kepala Sekolah Menengah Pertama terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (2) pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya, (3) faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, studi dokumen, wawancara mendalam, dan observasi. Analisis data dilakukan dengan proses reduksi data, penyajian data, dan verifikasi/penarikan kesimpulan. Langkah terakhir dari analisis data dalam penelitian ini adalah verifikasi atau pemeriksaan keabsahan data, yaitu dependabilitas dan konfirmabilitas. Hasil penelitian meliputi : (1) kebijakan Kepala Sekolah berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, antara lain yaitu : (a) pengadaan workshop di sekolah dengan mengundang pakar di bidangnya, (b) membuat perangkat pembelajaran bersama-sama di sekolah dengan dipandu tutor, (c) diadakannya Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di sekolah, (d) melakukan studi banding ke sekolah lain, (e) membuat media pelajaran sendiri dalam bentuk VCD dengan mendatangkan tutor, (f) kursus wajib bagi guru dibidang komputer dan bahasa inggris dengan biaya dari sekolah. (2) Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, mata pelajaran Seni Budaya meliputi : guru, siswa, materi, kegiatan belajar mengajar, metode, sumber belajar dan evaluasi.(3) Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya adalah : (a) waktu yang tersedia tidak mencukupi, (b) kurang tersedianya sarana prasarana, (c) materi pelajaran Seni Budaya tidak termasuk dalam materi pelajaran yang diujikan secara nasional, (d) masih terbatasnya kemampuan guru dalam memahami dan menguasai materi pelajaran Seni Budaya, (e) kurangnya dukungan dari orang tua siswa terhadap pelajaran Seni dan Budaya.
Kata Kunci : KTSP, mata pelajaran Seni Budaya,
PENDAHULUAN
Tahun ajaran 2006/2007 Depdiknas mengeluarkan 3 Peraturan Menteri, yaitu Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006, yang mengatur pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau yang sekarang dikenal dengan sebutan KTSP. Muatan Seni Budaya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tidak hanya terdapat dalam satu mata pelajaran karena budaya itu sendiri meliputi segala aspek kehidupan. Dalam mata pelajaran Seni Budaya, aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri tetapi terintegrasi dengan seni. Karena itu, mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya merupakan pendidikan yang berbasis budaya.
Sesuai dengan Undang-Undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, setiap daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan kondisi daerah tersebut, demikian pula dalam penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Sekolah diberikan kebebasan untuk menterjemahkan dan mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sesuai dengan kondisi sekolah tersebut. Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan modifikasi dan mengembangkan variasi-variasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan keadaan, potensi, dan kebutuhan daerah serta kondisi siswa. Pelaksanaan selanjutnya diserahkan pada guru bidang studi untuk mengembangkan kurikulum tersebut dengan standar yang lebih tinggi. Banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh sekolah untuk mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Permasalahan dalam penelitian ini, adalah kebijakan Kepala Sekolah Menengah Pertama terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Buday, faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya.
KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada dasarnya berupaya untuk memfokuskan pada kelompok-kelompok mata pelajaran dan kompetensi tertentu kepada peserta didik. Menurut Gordon (dalam Munib 2006: 14) aspek-aspek yang terkandung dalam kompetensi adalah sebagai berikut : (1) Pengetahuan (knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif; (2) Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh individu; (3) Kemampuan (skill), adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya; (4) Nilai (value), adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang; (5) Sikap (attitude), suatu perasaan atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar; dan (6) Minat (interest), adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan.
Mengacu pada pengertian kompetensi sebagaimana yang dikemukakan oleh Gordon tersebut, maka kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang memfokuskan pada struktur pengembangan kemampuan melaksanakan kompetensi-kompetensi sesuai cakupan kelompok mata pelajaran dan standar kinerja tertentu, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh peserta didik berupa profesionalitas sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Sementara itu, Pratt (1980: 4) menyatakan bahwa kurikulum adalah sebuah sistem yang memiliki komponen-komponen yang saling mendukung dan membentuk satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh Winarno Surakhmad (1977: 9) komponen-komponen tersebut mencakup : tujuan, isi, organisasi dan strategi.
Sehubungan dengan hal di atas, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memicu terhadap kebebasan dalam merancang struktur serta pemerolehan sejumlah kompetensi tertentu bagi peserta didik yang dapat diamati dalam bentuk perilaku dan keterampilannya sebagai kriteria keberhasilan dan didukung oleh komponen-komponen terkait.
Kompetensi yang ingin dicapai merupakan tujuan (gol stetemen) yang hendak diperoleh peserta didik, menggambarkan hasil belajar (learning autcomes) pada aspek pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Untuk mencapai kompetensi tersebut, strategi yang dilakukan adalah membantu peserta didik dalam menguasai kompetensi yang ditetapkan melalui kegiatan membaca, menulis, mendengarkan, berkreasi serta mengobservasi hingga mencapai kompetensi yang diharapkan yang tentunya sesuai dengan cakupan kelompok mata pelajaran.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sesungguhnya hanya merupakan subsistem dari sistem pendidikan. Sehubungan dengan hal ini, Sudarwan Danim (2002: 17) menyatakan bahwa keberhasilan institusi pendidikan dalam mengemban misinya sangat ditentukan oleh mutu keinterelasian unsur-unsur sistemik yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas proses transformasi dan mutu kerja institusi pendidikan, seperti tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, biaya, anak didik, masyrakat, dan lingkungan pendukungnya. Dari sekian banyak subsistem yang memberikan kontribusi terhadap kulitas proses dan keluaran pendidikan dalam makna educational outcomes, subsistem tenaga kependidikan telah memainkan peranan yang paling esensial.
PENDIDIKAN SENI BUDAYA
Pendidikan Seni Budaya yang terdapat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan diberikan di sekolah karena keunikan perannya yang tidak mampu diemban oleh mata pelajaran lain. Keunikan tersebut terletak pada pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi dan berapresiasi melalui pendekatan : belajar dengan seni, belajar melalui seni, dan belajar tentang seni (Salam 2001: 1). Karena keunikannya tersebut, pendidikan Seni Budaya memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai multikecerdasan yang terdiri atas kecerdasan interpersonal (interaksi dengan orang lain), interpersonal (kecerdasan pribadi), musikal (rasa seni), linguistik (bahasa), logik matematika (berpikir secara runtut), naturalis (alami) serta kecerdasan adversitas (menunjukkan kemampuan diri), kreativitas, spiritual dan moral.
Selain mempunyai keunikan, pendidikan Seni Budaya juga memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan multikultural. Multilingual bermakna pengembangan kemampuan mengekspresikan diri secara kreatif dengan menggunakan media bahasa rupa, bunyi, gerak, peran dan berbagai perpaduannya. Multidimensional bermakna pengembangan beragam kompetensi meliputi kognitif (pengetahuan , pemahaman, analisis, evaluasi), dan afektif (apresiasi, kreasi dengan cara memadukan secara harmonis unsur estetika, logika, dan etika). Sifat multikultural (beragam unsur budaya) mengandung makna pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya Nusantara dan Mancanegara. Hal ini merupakan wujud pembentukan sikap demokratis yang memungkinkan seseorang hidup secara beradab serta toleran dalam masyarakat dan budaya yang majemuk.
Pendidikan seni memenuhi kebutuhan yang bersifat individual, sosial, dan kultural (Salam 2001: 2). Bersifat individual karena melalui kegiatan berolah cipta seni, dan berapresiasi terhadap nilai keindahan yang merupakan intisari pendidikan seni, anak mendapatkan pengalaman individual yang memungkinkannya untuk berkembang menjadi manusia yang utuh, mandiri, dan bertanggung jawab. Melalui seni, anak akan mendapatkan pengalaman estetis yang berkaitan dengan elemen visual, bunyi atau gerak. Bersifat sosial, karena melalui seni, anak dapat berbagi rasa, keyakinan, dan nilai. Bersifat kultural, karena seni merekam nilai dan keyakinan yang dianut oleh penciptanya. Karya seni yang diciptakan anak, pada dasarnya merupakan cerminan dari nilai budaya yang dianutnya.
Tujuan pendidikan seni yaitu anak diharapkan: 1) memiliki pengetahuan tentang hakekat karya seni dan prosedur penciptaannya, 2) memiliki kepekaan rasa yang memungkinkannya untuk mencerap nilai-nilai keindahan yang ada di sekelilingnya serta membuat penilaian yang sensitif terhadap kualitas artistik suatu karya seni, 3) memiliki keterampilan yang memungkinkannya untuk berekspresi melalui media rupa, bunyi, gerak, atau lakon secara lancar atau menciptakan karya seni untuk kehidupan pribadi dan sosialnya (Salam 2001: 3).
Perspektif pemaknaan seni sebagai media atau alat pendidikan adalah lewat atau melalui kegiatan atau aktivitas berkesenian, diyakini dapat difungsikan sebagai media yang cukup efektif untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan segenap potensi individu secara optimal dalam format kesetimbangan (equilibrium) yang penuh. Disini, yang menjadi orientasi dan stressing point-nya dari pemaknaan aktivitas berkesenian bukan berada pada persoalan produk karya atau hasil, melainkan lebih pada dimensi proses (Goldberg 1997: 17-20). Proses yang terbingkai dalam makna pendidikan seni, yang lebih dikenal dengan sebutan “pengalaman estetik” (aesthetic experience) menurut pendapat dan hasil penelitian para pakar pendidikan (Plato, Herbert Read, Victor Lowenfeld, Malcom Ross, Elizabeth Hurlock, Ki Hadjar Dewantara), ternyata mempunyai korelasi positif terhadap berkembangnya berbagai potensi diri individu, misalnya : imajinasi, intuisi, berpikir, kreativitas, dan juga rasa sensitivitas. Oleh karenanya, berkait kelindan dengan perspektif strategisnya proses pengalaman estetik bagi pertumbuhan dan perkembangan individu yang terformat dalam pendidikan seni tersebut, sejak awal Plato menyarankan “Art Should be Basis of Education”. Thesisnya Plato ini kemudian yang mengilhami Herbert Read untuk mengembangkan kajian secara lebih jauh.
Menurut Gardner (1993: 77-78), selain unsur kemampuan verbal dan matematika-logika, ada unsur-unsur lain yang tidak kalah pentingnya bagi keberhasilan seseorang di masa depannya, yaitu kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intra-personal. De Porter dan Hernacki (1995: 30) menambah satu kecerdasan yang mungkin tertinggi dan merupakan bentuk terbaik dari pikiran yang kreatif, yaitu intuisi. Intuisi adalah kemampuan untuk menerima atau menyadari informasi yang tidak dapat diterima kelima indra kita.
Daniel Goleman (dalam Semiawan 1999) mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dua segi mental, yang satu, yang berasal dari kepala (head) yang cirinya kognitif, dan yang satu yang berasal dari hati sanubarinya (heart), yaitu segi afektifnya. Kehidupan afektif ini sangat mempengaruhi kehidupan kognitif yang dikelola oleh otak, yang memiliki dua belahan (kiri dan kanan) dan disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum. Berpikir holistik, kreatif, intuitif, imajinatif, dan humanistik merupakan tugas serta ciri dan fungsi belahan otak kanan (right hemisphere), dan berpikir kritis, logis, linier, serta mememorisasi terutama terkait dengan respon, ciri, dan fungsi belahan otak kiri (left hemisphere). Oleh karenanya, pengalaman belajar yang menjanjikan adanya kualitas equilibrium pada pengembangan otak secara optimum, baik pada belahan kiri dan kanan akan memberikan kebebasan aktivitas mental (free mental work) pebelajarnya, dan hal ini kiranya merupakan quality assurancy yang perspektifnya sangat strategis bagi keberadaan individu secara holistik dalam kehidupan dan masyarakatnya. Sebaliknya pembelajaran yang hanya dan terutama membebankan berfungsinya belahan otak kiri, terutama dengan mememorisasi fakta atau rumus tertentu, yang menurut hasil penelitian, diantaranya akan mensupress dirinya – sangat mendorong adanya hostile attitude (sikap permusuhan) (Semiawan, 1999). Tindak agresivitas massa dan konflik multidimensional yang menjadi salah satu beban terberat bangsa akhir-akhir ini, adalah salah satu kemungkinan akibat dari kehidupan yang tidak sehat dan terkait erat dengan cara pembelajaran yang salah, sebagaimana diisyaratkan oleh penelitian tersebut.
Namun, jauh sebelum Goleman melakukan penelitiannya itu, Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara bahkan sudah sejak lama menjadikan unsur rasa sebagai poros trilogi pendidikan dalam bentangan pikir (cipta) – rasa – karsa. Ki Hadjar Dewantara secara intens menekankan pentingnya olah rasa disamping olah pikir dan olah raga. Melalui olah rasa inilah akan memekarkan sensitivitas hingga terbentuk manusia-manusia yang berwatak mulia, seperti : terintegrasinya antara pikir, kata, dan laku, sikap jujur, rendah hati, disiplin, setia, menahan diri, bertenggang rasa, penuh perhatian, belas kasih, berani, adil, terbuka, dan sebagainya. Oleh karenanya proses internalisasi atau pengakaran, pengasahan dan pemekaran rasa seyogyanya menjadi concern sejak pendidikan di tingkat dini.
Ketika pendidikan moral dan nilai-nilai yang tersaji dalam format pendidikan agama baik formal maupun informal, ternyata dalam ekspresinya berkecenderungan lebih mengedepankan pengasahan aspek kognitif dan bukannya penajaman dan penghayatan pada dimensi religiousitas, maka sesungguhnya nilai-nilai yang termuat dalam pendidikan yang berbasiskan seni dan sastra merupakan salah satu alternatif oasis. Sayangnya selama ini tidak pernah mendapatkan perhatian yang besar dalam sistem pendidikan formal, karena para decission maker pendidikan sampai saat ini begitu gandrung dengan ranah pendidikan yang berbasiskan kemampuan intelektual semata sebagaimana dimaksud diatas.
Masalah pendidikan seni dipandang sebagai masalah yang relatif tidak penting. Satu segmentasi di ranah pendidikan yang selalu dianggap sebagai suatu non-issue, suatu hal yang amat remeh maknanya. Padahal sudah teramat banyak penajaman para pakar yang mencoba mengartikulasikan perihal pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam segmentasi pendidikan seni tersebut bagi kehidupan secara totalitas.
Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, bingkai pendidikan seni yang berbasis pada pengakaran poros rasa estetis, sekali-kali tidak bermaknakan agar anak didiknya nanti menjadi seniman atau seorang ahli seni. Namun tujuan esensial kulturalnya adalah “dengan pendidikan menghaluskan perasaan, anak-anak kita hendaknya mendapatkan kecerdasan yang luas dan sempurna dari rohnya, jiwanya, budinya, hingga mereka hendaknyalah mendapatkan tingkatan yang luhur sebagai manusia (mempertinggi niveau human)”, begitu tulisnya dalam pidato radio Hubungan Pendidikan dan Kultur di RRI Yogyakarta, 14 Januari 1940 (Sumarta, 2000 dalam Sindhunata 2001: 182).
Penajaman pada dimensi operasional perihal efektivitas pendidikan yang berporoskan pengakaran dan pemekaran rasa ini, kiranya sudah banyak hasil riset komprehensif yang mampu memverifikasikannya. Dalam bidang seni musik misalnya, hasil riset yang ada, ternyata musik-musik yang sejenis klasik seperti karya Wolfgang Amadeus “Mozart” (1756-1791), jika diperdengarkan secara intensif kepada ibu yang sedang mengandung janinnya, mampu mempengaruhi pembentukan kejiwaan sang anak nantinya.
Pendidikan seni yang pada hakekatnya merupakan pembelajaran yang menekankan pada pemberian pengalaman apresiasi estetik, disamping mampu memberikan dorongan ber-“ekstasi” lewat seni, juga memberi alternatif pengembangan potensi psikhis diri serta dapat berperan sebagai katarsis jiwa yang membebaskan.
Ross mengungkapkan bahwa kurikulum pendidikan seni termasuk kurikulum humanistic yang mengutamakan pembinaan kemanusiaan, bukan kurikulum sosial yang mengutamakan hasil praktis (Ross, 1983). Sedangkan menurut Read (1970) pendidikan seni lebih berdimensikan sebagai “media pendidikan” yang memberikan serangkaian pengalaman estetik yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan jiwa individu. Sebab melalui pendidikan ini akan diperoleh internalisasi pengalaman estetik yang berfungsi melatih kepekaan rasa yang tinggi. Dengan kepekaan rasa yang tinggi inilah nantinya mental anak mudah untuk diisi dengan nilai-nilai religiousitas, budi pekerti atau jenis yang lain. Istilah lain dari konsep “kearifan”. Definisi dan pemaknaan “kearifan” diperlukan syarat-syarat : pengetahuan yang luas (to be learned), kecerdikan (smartness), akal sehat (common sense), tilikan (insight), yaitu mengenali inti dari hal-hal yang diketahui, sikap hati-hati (prodence, discrete), pemahaman terhadap norma-norma dan kebenaran, dan kemampuan mencernakan (to digest) pengalaman hidup (Buchori 2000 dalam Sindhunata 2001: 25). Semua nilai-nilai itu terkandung dengan sarat dalam dimensi pendidikan seni, karena berorientasi pada penekanan proses pengalaman olah rasa dan estetis.
METODE
Sasaran penelitian adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Oleh karena itu, pendekatan yang dipandang cocok untuk digunakan adalah pendekatan pembelajaran (pedagogis) dengan metode etnografi ruang kelas. Fokus penelitian adalah kebijakan Kepala Sekolah Menengah Pertama terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pendidikan seni budaya, faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran seni budaya. Lokasi penelitian adalah Sekolah Menengah Pertama kota Semarang, dengan obyek penelitian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan proses belajar mengajar pendidikan seni budaya di Sekolah Menengah Pertama. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, studi dokumen, wawancara mendalam, dan observasi. Bersamaan dengan proses pengumpulan data, dilakukan juga tahapan analisis data yang berlangsung selama proses penelitian ditempuh melalui tiga jalur kegiatan sebagai suatu sistem, yaitu (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) verifikasi/penarikan kesimpulan (Milles dan Huberman 1992).
Langkah terakhir dari analisis data dalam penelitian ini adalah verifikasi atau pemeriksaan keabsahan data. Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini memakai dependabilitas dan konfirmabilitas (Lincoln dan Guba dalam Jazuli, 2001 : 34). Data yang didapat dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi selanjutnya ditafsirkan hingga penarikan kesimpulan lewat pembimbing dalam proses penelitian, dan melakukan pengecekan serta pengkajian silang dengan pakar atau teman sejawat. Disamping itu, juga menggunakan member checking, yakni meminta pengecekan dari informan, pemain dan penonton.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kebijakan Kepala Sekolah Menengah Pertama terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di sekolah tidak terlepas dari kebijakan Kepala Sekolah masing-masing. Setiap Kepala Sekolah akan melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan berdasarkan kondisi sekolah tersebut. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam bidang mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan. Pelaksanaannya tidak terlepas dari kondisi sekolah masing-masing, diantaranya yaitu ketersediaan guru yang sesuai dengan bidangnya, dan sarana-prasarana yang ada. Upaya Kepala Sekolah dalam mendukung pelaksanaan mata pelajaran Seni Budaya antara lain adalah dengan menyediakan peralatan musik, perlengkapan tari, aula tempat belajar tari, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengikuti lomba-lomba di bidang seni.
Selain itu, Kepala Sekolah juga mempunyai kebijakan-kebijakan tertentu berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, antara lain yaitu: (1) guru diikutkan workshop di sekolah dengan mengundang pakar di bidangnya, (2) membuat perangkat pembelajaran bersama-sama di sekolah dengan dipandu tutor, (3) diadakannya Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di sekolah, (4) melakukan studi banding ke sekolah lain untuk perbaikan proses belajar mengajar, (5) membuat media pelajaran sendiri dalam bentuk VCD dengan mendatangkan tutor, (6) kursus wajib bagi guru dibidang komputer dan bahasa inggris dengan biaya dari sekolah.
Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya
Dalam proses pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, terlebih dahulu guru harus mampu menjabarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam mata pelajaran Seni Budaya dalam materi belajar satu semesteran. Dalam satu semester, guru menentukan berapa hari efektif, dan dari minggu efektif ini kemudian dijadikan berapa jumlah jam, yang akhirnya diketemukan dalam harian. Sedang setiap hari jam pelajaran 45 menit. Tujuan pembelajaran yang direncanakan harus sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu memperhatikan Standar Proses dan Standar Penilaian. Selanjutnya guru menentukan langkah-langkah pembelajaran yang dituangkan dalam bentuk kegiatan belajar mengajar. Proses belajar mengajar mata pelajaran Seni Budaya meliputi : guru, siswa, materi, kegiatan belajar mengajar, metode, sumber belajar dan evaluasi.
Guru
Guru adalah seseorang yang harus memiliki wawasan kependidikan guru yaitu wawasan yang memandang hakikat manusia sebagai guru, sebagai siswa dan hakikat belajar mengajar. Seorang guru harus memiliki 3 kompetensi yaitu kompetensi profesional, kompetensi sosial dan kompetensi pribadi. Kompetensi profesional yang dimaksud meliputi:(1) menguasai bahan, (2) mengelola program belajar mengajar, (3) mengelola kelas, (4) penggunaan media/sumber, (5) menguasai landasan kependidikan, (6) mengelola interaksi belajar-mengajar, (7) menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, (8) mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah, (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, (10) memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan kembali penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Kompetensi sosial atau kompetensi kemasyarakatan adalah kemampuan guru dalam ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Sedangkan kompetensi pribadi berkaitan dengan nilai pribadi guru sebagai individu, yaitu hendaknya memiliki sikap terbuka, toleran, obyektif, jujur, wajar, demokratis, komunikasi hangat, kasih sayang, tanggung jawab, adil, integritas, mampu menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, serta mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Menurut Sri Handayani (wawancara 20 September 2008), persiapan yang harus dilakukan guru untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar adalah : (1) perubahan pola pikir untuk menempatan siswa sebagai pembangun gagasan, (2) perubahan pola tindakan dalam menetapkan peran siswa, peran guru dan gaya mengajar, (3) sikap berani melakukan inovasi pendidikan dan meyakinkan masyarakat dalam penerapannya, (4) sikap kritis dan berani menolak kehendak yang kurang edukatif, (5) sikap kreatif dalam menghasilkan karya pendidikan, (6) selalu membuat rencana pelaksanaan pengajaran secara kongkrit dan terperinci.
Selanjutnya Sri Handayani (wawancara 20 September 2008) mengatakan, bahwa guru berperan sebagai informator (memberikan informasi tentang pengetahuan seni secara luas), fasilitator (memberikan fasilitas atau sumber belajar bagi siswa sehingga kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan baik), dan motivator (memberikan semangat atau dorongan kepada siswa sehingga dapat belajar dengan efektif).
Dalam kegiatan belajar mengajar materi pelajaran Seni Budaya berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, guru harus memiliki 8 keterampilan mengajar yaitu (1) keterampilan bertanya, (2) keterampilan memberikan penguatan, (3) keterampilan mengadakan variasi, (4) keterampilan menjelaskan, (5) keterampilan membuka dan menutup pelajaran, (6) keterampilan memimpin diskusi kelompok kecil, (7) keterampilan mengelola kelas, (8) keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan.
Siswa
Siswa adalah unsur dasar interaksi belajar mengajar yang melaksanakan aktivitas belajar Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan mata pelajaran Seni Budaya, siswa dituntut untuk mampu menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar, yaitu mampu mengapresiasi dan mengekspresikan sebuah karya seni daerah setempat, nusantara dan manca negara.
Materi Pelajaran Seni Budaya
Materi pelajaran Seni Budaya berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan terbagi dalam 4 bidang seni yaitu seni rupa, seni musik, seni tari dan seni teater yang tersebar ke dalam 6 semester mulai dari kelas VII sampai dengan kelas IX. Materi pelajaran Seni Rupa Kelas VII semester 1 dan 2, adalah karya seni rupa terapan daerah setempat, kelas VIII semester 1 dan 2 adalah seni rupa terapan Nusantara, kelas IX semester 1 dan 2 adalah seni rupa murni yang diciptakan di daerah setempat. Mata pelajaran Seni Musik kelas VII semester 1 dan 2 adalah lagu daerah setempat dan ragam musik daerah setempat, kelas VIII semester 1 dan 2 adalah lagu Nusantara dan karya musik tradisional Nusantara, kelas IX semester 1 dan 2 adalah lagu mancanegara di Asia dan luar Asia. Mata pelajaran Seni Tari kelas VII semester 1 dan 2 adalah karya seni tari tunggal, berpasangan dan kelompok daerah setempat, kelas VIII semester 1 dan 2 adalah karya seni tari tunggal, berpasangan dan berkelompok Nusantara, kelas IX semester 1 dan 2 adalah karya seni tari mancanegara di Asia dan luar Asia. Mata pelajaran seni teater kelas VII semester 1 dan 2 adalah karya seni teater daerah setempat, kelas VIII semester 1 dan 2 adalah karya seni teater Nusantara, kelas IX semester 1 dan 2 adalah karya seni teater tradisional dan modern mancanegara di Asia dan luar Asia.
Kegiatan Belajar Mengajar
Kegiatan belajar mengajar mata pelajaran Seni Budaya berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan mempunyai tiga tahapan pokok, yaitu pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Pendahuluan adalah kegiatan membuka pelajaran yang berisi apersepsi (sebuah kegiatan yang bertujuan untuk mengkondisikan siswa agar siap menerima pelajaran) dan pree test (kegiatan evaluasi materi yang sudah diberikan pada pertemuan terdahulu). Kegiatan inti adalah kegiatan menjelaskan materi pelajaran. Kegiatan penutup adalah kegiatan menutup pelajaran yang berisi rangkuman materi pelajaran yang sudah diterangkan dan memberikan evaluasi.
Metode Pengajaran
Metode yang digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar, adalah :
a.Metode Ceramah digunakan untuk menyampaikan materi teori yang harus dimengerti dan
dikuasai oleh siswa sebelummelakukan kegiatan praktik.
b.Metode Demonstrasi digunakan untuk memberikan contoh sebelum melakukan praktik
yaitu tentang ragam gerak dan teknik menari, sedang siswa menirukan materi yang
diberikan.
c.Metode Diskusi dan Tanya Jawab digunakan untuk memacu kreativitas siswa dalam
memahami dan menguasai materi yang diberikan oleh guru saat kegiatan belajar
mengajar berlangsung.
Media, Alat dan Sumber Belajar
Media adalah bahan yang sudah berisi pesan. Media pelajaran Seni Budaya ini, bisa berupa chart, transparansi, VCD, foto-foto, gambar-gambar. Sedangkan alat adalah alat bantu untuk menyampaikan pesan, dalam pembelajaran Seni Budaya ini berupa tape recorder, OHP, Slide proyektor. Sumber belajar adalah bahan yang dijadikan rujukan dalam penyampaian materi pelajaran. Sumber belajar ini bisa berupa manusia, buku, laboratorium.
Evaluasi
Evaluasi adalah tes akhir yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa di dalam memahami materi pelajaran Seni Budaya yang diberikan oleh guru. Tes adalah pertanyaan yang harus dijawab, pernyataan yang harus dipilih dan ditanggapi, tugas-tugas yang harus dilakukan secara prosedur dan sistematik dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek perilaku tertentu dari siswa. Dalam tes prestasi belajar, hal yang diukur adalah tingkat kemampuan siswa dalam menguasai bahan pelajaran yang telah diajarkan. Tujuan tes adalah: (1) mengidentifikasi profil siswa dalam materi pokok, (2) mengidentifikasi pengetahuan dasar yang telah dimiliki siswa, (3) mengidentifikasi tujuan pembelajaran yang telah dicapai, (4) mengidentifikasi kesalahan yang biasa dilakukan siswa. Evaluasi ini bisa diberikan pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung melalui tanya jawab dan diskusi, ataupun pada saat mengakhiri pelajaran yang berupa tes akhir. Selain itu, ada juga tes formatif yaitu tes tengah semester dan tes sumatif yaitu tes akhir semester.
Salah satu ciri khas pendidikan seni adalah banyaknya perbuatan dan hasil keterampilan yang harus dilakukan siswa. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam mendiagnosa kesulitan belajar dalam pendidikan seni adalah adanya tinjauan pada tes perbuatan (proses) dan tes hasil kerja siswa tersebut. Tes perbuatan (proses) dalam materi Seni Budaya, dianggap lebih tepat bila dibandingkan dengan tes hasil kerja siswa.
Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya
Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya adalah (1) waktu yang tersedia untuk menyampaikan materi Seni Budaya berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tidak mencukupi,(2) Kurang tersedianya sarana prasarana yang menunjang berlangsungnya kegiatan belajar mengajar Seni Budaya, (3) materi pelajaran Seni Budaya tidak termasuk dalam materi pelajaran yang diujikan secara nasional sehingga menjadikan siswa meremehkan pelajaran tersebut, (4) masih terbatasnya kemampuan guru dalam memahami dan menguasai materi pelajaran Seni Budaya sehingga materi pelajaran berkesan monoton dan tidak berkembang, (5) kurangnya dukungan dari orang tua siswa terhadap pelajaran Seni dan Budaya sehingga sedikit banyak menghambat siswa untuk bisa menekuni pelajaran tersebut.
Simpulan Dan Saran
Simpulan
Kebijakan Kepala Sekolah berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, antara lain yaitu: (1) guru diikutkan workshop di sekolah dengan mengundang pakar di bidangnya, (2) membuat perangkat pembelajaran bersama-sama di sekolah dengan dipandu tutor, (3) diadakannya Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di sekolah, (4) melakukan studi banding ke sekolah lain untuk perbaikan proses belajar mengajar, (5) membuat media pelajaran sendiri dalam bentuk VCD dengan mendatangkan tutor, (6) kursus wajib bagi guru dibidang komputer dan bahasa inggris dengan biaya dari sekolah.
Dalam proses pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, terlebih dahulu guru menjabarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ke dalam materi belajar satu semesteran. Materi pelajaran ini harus sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu memperhatikan Standar Proses dan Standar Penilaian. Selanjutnya guru menentukan langkah-langkah pembelajaran yang dituangkan dalam bentuk kegiatan belajar mengajar.Proses belajar mengajar mata pelajaran Seni Budaya meliputi : guru, siswa, materi, kegiatan belajar mengajar, metode, sumber belajar dan evaluasi.
Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya adalah: (1) waktu yang tersedia untuk menyampaikan materi Seni Budaya berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tidak mencukupi, (2) kurang tersedianya sarana prasarana yang menunjang berlangsungnya kegiatan belajar mengajar Seni Budaya, (3) materi pelajaran Seni Budaya tidak termasuk dalam materi pelajaran yang diujikan secara nasional sehingga menjadikan siswa meremehkan pelajaran tersebut, (4) masih terbatasnya kemampuan guru dalam memahami dan menguasai materi pelajaran Seni Budaya sehingga materi pelajaran berkesan monoton dan tidak berkembang, (5) kurangnya dukungan dari orang tua siswa terhadap pelajaran Seni dan Budaya sehingga sedikit banyak menghambat siswa untuk bisa menekuni pelajaran tersebut.
Saran
Saran-saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
Bagi Kepala Sekolah :
(1)Kegiatan seni hendaknya dilakukan sebagaimana yang diamanatkan dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan
(2)Perlu mendatangkan nara sumber untuk membahas mata pelajaran Seni Budaya
berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(3)Perlu menyediakan sarana prasarana guna kelancaran proses belajar mengajar Seni
Budaya.
Bagi Guru SLTP :
(1)Saat pertemuan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dalam rangka kegiatan
merumuskan mata pelajaran Seni Budaya hendaknya mendatangkan ahli di bidang
pendidikan seni rupa, seni musik, seni tari dan seni teater
(2)Sebagai upaya meningkatkan seni anak, (a) hendaknya guru untuk lebih
meningkatkan potensi seni yang dianggapnya paling dikuasai dan disenangi, (b)
meminta bantuan pada guru lain yang lebih menguasai bidang seni tertentu untuk
mengajar, (c) memberikan dorongan pada anak agar lebih bersemangat dan giat dalam
berseni.
(3)Dalam pembelajaran seni hendaknya lebih memaksimalkan potensi alam sekitar,
demikian pula dalam metode penyampaiannya.
(4)Evaluasi hendaknya lebih mempertimbangkan proses dari pada hasil.
Bagi Dinas Pendidikan :
(1)Perlu diadakan penataran dan pelatihan bagi guru SLTP berkaitan dengan
pemahaman Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(2)Perlu diadakan penataran dan pelatihan bagi guru-guru SLTP guna peningkatan
wawasan, pengetahuan dan apresiasi seni.
(3)Perlu dimasukkannya mata pelajaran Seni Budaya dalam Ujian Akhir Nasional
DAFTAR PUSTAKA
De Porter, B. . Dan M. Hernacki. 1992. Quantum Learning. Unleasing Genius in You. New York : Dell Published
Gardner, H. 1993. Multiple Intellegences: The Theory and Practice. New York: Cambridge University Press.
Goldberg, Merryl. 1997. Arts and Learning. An Integrated Approach to Teaching and Learning in Multicultural and Multilingual Setting. New York : Longman.
Jazuli, M. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Semarang : Universitas Negeri Semarang Press.
Munib, Achmad. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Sebuah Kebijakan dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran). Jurnal Lembar Ilmu Kependidikan no. 2 tahun XXXV 2006 . Semarang : Universitas Negeri Semarang.
Salam, Sofyan. 2001 . Kurikulum Pendidikan Seni yang Esensial dan Realistis. Artikel. Seminar & Lokakarya Nasional Pendidikan Seni 18-20 April. Jakarta.
Semiawan, Cony. 1999. Pendidikan Tinggi : Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Jakarta : Grasindo.
Sindhunata. 2001. Membuka Masa Depan Anak-anak Kita : Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI.Yogyakarta : Kanisius.
Miles, M. B. Dan A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta : UI Press.
Selasa, 16 Juni 2009
Jumat, 12 Juni 2009
PROSES PENCIPTAAN DAN KREATIVITAS DALAM SENI
Eny Kusumastuti
I.Pendahuluan
Manusia tidak dapat lepas dari seni dalam kehidupan sehari-hari, baik disadari maupun tidak. Seni menarik untuk dibicarakan bukan hanya karena keindahannya, tetapi karena kenyataannya seni selalu melekat pada kehidupan manusia. Melekatnya seni pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia sering kali menyulitkan kita untuk memilih seni dan yang bukan seni. Apabila dapat disebutkan jenis-jenis seni seperti seni rupa, seni tari, seni musik, seni drama serta jenis-jenis seni yang lain, sering dijumpai kesulitan untuk memisahkan perwujudan tiap-tiap jenis itu sebab seni yang satu dengan yang lain selalu berkaitan.
Dalam sebuah pertunjukkan seni tari misalnya, sering dijumpai berbagai unsur seni yang saling terkait didalamnya. Walaupun karya tari pada dasarnya dinikmati orang melalui indera mata (penglihatan), tetapi berbagai unsur lainnya muncul secara bersama-sama didalamnya. Tari tidak bisa terlepas dari unsur musik sebagi pengiringnya, unsur seni rupa sebagai tata rias wajah dan busana dan unsur seni drama dalam tata geraknya. Kesatuan unsur-unsur seni tersebut menimbulkan kenikmatan tersendiri yang lebih kompleks sifatnya bagi orang-orang yang mengamatinya. Karya seni tersebut dapat dirasakan dengan kesadaran yang penuh.
Karya seni yang sering tidak disadari keberadaannya adalah karya seni terapan. Misalnya baju , perabot rumah tangga, sampai pada tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalahnya pemahaman terhadap seni belum memadai pada banyak orang. Apabila manusia menyadari dan memahami keberadaan seni, maka manusia dapat merasakan kenikmatan yang disebabkan oleh pemakaian barang-barang seni terapan tersebut pada tingkatan terpesona.
Demikian pula dalam karya seni yang sifatnya murni, keindahannya dapat diserap dengan baik apabila pengamat dapat menyadari adanya nilai-nilai seni itu. Tanggapan yang baik terhadap seni sekurang-kurangnya dapat diperoleh jika dapat memahami tentang arti seni itu. Untuk bisa masuk kedalam pemahaman seni, perlu mempelajari estetika dan filasat seni .
II.Permasalahan Teori dan Teori Seni
Seni adalah sesuatu yang tidak akan pernah habis untuk dibicarakan oleh banyak orang pada masa sekarang ini. Untuk dapat memahami seni melalui teori-teori seni yang sudah dikemukakan oleh para ahli, sebelumnya perlu memahami terlebih dahulu pengertian definisi, konsep dan teori.
A.Pengertian Definisi, Konsep dan Teori
Menurut Zajuli (2001: 24) dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif, definisi berasal dari kata latin definire yang berarti menandai batas-batas pada sesuatu, menentukan batas, dan memberi ketentuan atau batasan arti. Dengan demikian definisi dapat diartikan sebagai penjelasan apa yang dimaksudkan dengan suatu istilah. Definisi adalah sebuah pernyataan yang memuat penjelasan tentang arti suatu istilah. Definisi menjadi konstruk paling elementer dalam struktur teori, karena menjadi pembatasan atau penjelasan suatu konsep. Sebuah definisi harus memuat dua bagian yaitu bagian pangkal yang disebut dengan istilah definiendum yang berisi istilah yang harus diberi penjelasan, bagian pembatas disebut definiensi yang berisi tentang arti dari bagian pangkal.
Tim Penyusun Filsafat Ilmu UGM (dalam Zajuli 2001: 25-26) membedakan definisi menjadi tiga yaitu nominalis, realis dan praktis. Definisi nominalis adalah penjelasan atas sesuatu istilah dengan menggunakan kata lain yang lebih dikenal. Jadi sekedar menjelaskan istilah sebagai tanda, bukan menjelaskan hal yang ditandai. Definisi nominalis dibedakan menjadi dua yaitu definisi sinonim dan etimologik. Definisi sinonim, yaitu penjelasan yang diberikan dengan menggunakan persamaan kata atau memberikan penjelasan dengan kata yang dimengerti. Definisi etimologik adalah penjelasan dengan cara mengetengahkan asal mula istilahnya. Definisi realis adalah penjelasan tentang hal yang ditandai oleh sesuatu istilah yaitu berdasarkan isi yang terkandung dalam konsep yang didefinisikan. Penjelasan isi dapat dilakukan secara analitik yaitu isi konsep tersebut diuraikan menjadi bagian – bagian atau unsur-unsur. Definisi praktis adalah penjelasan tentang sesuatu hal ditinjau dari segi kegunaan dan tujuan praktis. Definisi ini dibedakan antara yang fungsional dan operasional.
Konsep adalah abstraksi dari sejumlah empiri (pengalaman) yang ditemukan kesamaan umumnya dan kepilahannya dari yang lain atau abstraksi dari sejumlah hal essensial pada suatu kasus dan dilakukan berkelanjutan dari kasus-kasus yang lain. Singkatnya, konsep adalah abstraksi atau pengertian tentang satu objek atau fenomena tertentu (Zajuli 2001: 26-27).
Kerlinger, 1973 (dalam Zajuli 2001: 27-28) mengatakan teori adalah sekumpulan konsep, definisi, preposisi yang saling berkaitan yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atau fenomena yang ada dengan menunjukkan secara spesifik hubungan diantara variable-variabel atau konsep-konsep yang terkait dalam fenomena, dengan tujuan untuk memberikan eksplanasi dan prediksi atas teori sebagai suatu kumpulan statemen yang me miliki kaitan logis sebagai cermin dari kenyataan yang ada tentang sifat atau cirri suatu kelas, peristiwa atau suatu benda. Sedangkan Bogdan dan Biklen 1982(dalam Zajuli, 2001 : 28) mengatakan bahwa teori merupakan suatu pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat proporsi yang berasal dari data dan diuji kembali secara empiris.
B.Teori seni
Pada umumnya orang cenderung menyebut seni untuk benda atau hal-hal yang memiliki sifat aneh. Ada pula orang yang mendefinisikan seni itu sebagai sesuatu yang indah. Orang selalu mengkaitkan seni dengan keindahan. Berbagai pendapat atau definisi-definisi bahkan teori-teori yang muncul sering mempermasalahkan tentang pengertian seni. Ada teori yang menyatakan bahwa seni itu berkaitan erat dengan keindahan, tetapi disatu sisi ada pula teori yang menentang. Teori seni yang menyatakan bahwa seni selalu berkaitan dengan keindahan adalah teori yang dikemukakan oleh Socrates dan pengikut-pengikutnya yang dikenal dengan teori mimesis.
Dalam kesenian jawa yang adiluhung, seni adalah indah. Dalam seni tari Klasik Jawa, Pangeran Surjodiningrat mendifinisikan bahwa dalam definisi tersebut bahwa seni “ ingkang kawastanan jogged inggih punika ebahing sadaya sarandhuning badhan kasarengan ungeling gangsa (gamelan) katata pikantuk wiramaning gending, jumbuhing pasemon kaliyan pikajenging joged” (Soedarso 1998:18). Jelas terlihat tari klasik jawa dekat dengan keindahan.
Seorang tokoh lain yang melihat keindahan dalam sebuah seni adalah George Santayana 1863-1952, berpendapat bahwa keindahan sebagai nilai yang positip, instrinsik dan diobyektifkan yakni dianggap sebagai kwalita yang ada pada suatu benda (The Liang Gie 1976: 39). Pendapat ini jelas mengatakan bahwa nilai keindahan selalu terdapat pada sebuah benda sabagai hasil karya seni.
Sementara itu teori seni yang paling tua yang dikemukakan para filsuf sejak Sokrates, Plato, Aristoteles berpendapat bahwa seni selalu berkaitan dengan keindahan. Aristoteles dalam teori imitasinya mengatakan bahwa imitasi merupakan sumber kenikmatan yang tiada habisnya, biarpun obyek seninya terlihat sengsara namun kesengsaraan itu dapat dinikmati lewat perwujudan artistik (Nugroho 1987: 209-210 dalam Bastomi 1990: 16). Dalam seni tari prinsip imitasi dapat diterapkan melalui mengimitasikan gerak-gerak binatang, tingkah laku manusia yang dipresentasikan dalam bentuk gerak. Spontanitas seniman dalam mempresentasikan benda-benda alam tidak diwujudkan secara murni, melainkan diolah dan disempurnakan agar menjadi lebih baik dari pada alamnya.
Teori lain yang bercorak metafisis dikemukakan oleh seorang filsuf Arthur Schopenhauer 1788-1860. Seni adalah suatu bentuk dari pemahaman terhadap realita. Dan realita yang sejati ialah suatu keinginan (will) yang semesta. Dunia obyektif sebagai ide hanyalah wujud luar dari keinginan itu. Selanjutnya ide-ide itu mempunyai perwujudannya sebagai benda-benda khusus (The Liang Gie 1976: 76).
Teori imitasi ini ditolak oleh Roesseau . Baginya seni bukanlah deskripsi atau reproduksi dunia empiris, melainkan luapan emosi perasaan. Prinsip imitasi, prinsip memetis yang sudah berabad-abad umurnya itu tersisih oleh konsepsi baru yaitu teori ekspresi dengan cita-cita seni kreatif atau seni karakteristik (Bastomi 1990: 18). Benedetto Croce seorang tokoh teori estetika modern mendudukkan peranan ekspresi dalam seni. Croce mengatakan bahwa seni adalah pengungkapan dari kesan-kesan. Expression adalah sama dengan intuition. Dan intuisi adalah pengetahuan intuitif yang diperoleh melalui pengkhayalan tentang hal-hal individual yang menghasilkan gambaran-gambaran angan-angan. Dengan demikian pengungkapan berwujud berbagai gambaran angan-angan seperti misalnya images warna, garis dan kata. Bagi seseorang mengungkapkan berarti menciptakan seni dalam dirinya tanpa perlu adanya kegiatan jasmaniah keluar. Pengalaman estetis seseorang tidak lain adalah ekspresi dalam gambar dan angan-angan (The Liang Gie 1976: 75).
Leo Tolstoi salah seorang penganut teori pengungkapan mengatakan bahwa seni adalah suatu kegiatan manusia yang terdiri dari seorang atau beberapa orang secara sadar dengan perantaraan tanda-tanda lahiriah tertentu menyampaikan perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orang –orang lain sehingga mereka kejangkitan perasaan-perasaan ini dan juga mengalaminya (The Liang Gie 1976: 61). Tolstoi mengkaitkan seni dengan pengamat sekaligus sehingga seni sebagai alat komunikasi dari pencipta kepada orang lain.
Herbert Read dalam bukunya The Meaning of Art menyatakan bahwa kata seni paling lazim dihubungkan dengan seni-seni yang bercorak penglihatan atau plastis (yang menciptakan bentuk-bentuk seperti misalnya tanah liat ) (The Liang Gie 1976: 64). Ia juga menganggap bahwa istilah keindahan itu amat relatif, sehingga ia lebih baik mengusulkan agar seni tidak perlu dihubung-hubungkan dengan keindahan, terutama apabila keindahan yang dimaksud adalah konsep pujangga-pujangga Yunani sampai dengan tradisi klasik di Eropa (Soedarso 1998: 5).
Pendapat Herbert Read didukung oleh pendapat Thomas Munro (dalam Soedarso 1998: 11) yang menyatakan bahwa seni adalah alat buatan manusia untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain yang melihatnya. Efek tersebut mencakup tanggapan-tanggapan yang berujud pengamatan, pengenalan, imajinasi baik yang rasional maupun emosional. Senada dengan pendapat Thomas Munro, Akhdiat Karta Miharja (dalam Rahmanto 1992: 111-112) mengatakan bawa seni sebagai kegiatan rohani manusia yang merefleksikan realitas dalam suatu karya yang berkat dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani si penerimanya. Ia dengan tegas menyatakan bahwa seni adalah kegiatan rohani bukan semata-mata kegiatan jasmani. Kedua pendapat tersebut jelas menekankan kegiatan rohani di pihak penerima seni tersebut. Pendapat diatas didukung oleh Ki Hajar Dewantara bahwa seni adalah perbuatan manusia yang timbul dari kehidupan perasaannya dan bersifat indah sehingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia (Bastomi 1990: 20). Batasan tersebut mengandung pengertian bahwa dalam seni ada kegiatan batin serta perasaan untuk menggerakkan jiwa orang lain sesuai dengan perasaan yang dikandung pencipta.
Pencipta bermaksud mengadakan komunikasi dengan orang lain lewat hasil seni.
Sementara itu Susane K. Langer yang juga menolak teori memesis, mengatakan bahwa seni sungguh-sungguh menghasilkan sesuatu yang lain sama sekali dari realitas alamiah. Karya seni meskipun dalam arti tertentu mempunyai kemiripan dengan alam, namun karya seni sudah tercerabut dari kenyataan alamiah. Prinsip ketercerabutan dari kenyataan alamiah inilah yang terjadi (Sudirja, 1982 dalam Rahmanto 1992: 114).
III.Proses Penciptaan Dalam Seni
A.Proses penciptaan
Berdasarkan teori –teori seni yang sudah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebuah karya seni tidak dapat terlepas dari proses penciptaannya dan si pencipta itu sendiri. Mencipta pada dasarnya adalah melahirkan sesuatu. Walaupun proses kelahiran itu diwarnai oleh derita, rasa duka atau rasa takut, kesemuanya akhirnya bermuara pada rasa suka cita (Sahman 1993: 66). Bargson mengatakan bahwa dimana rasa suka cita itu tampil, maka disitulah orang menjumpai kerja mencipta. Mencipta dalam arti keberhasilan menampilkan sesuatu tentu akan menimbulkan rasa suka cita. Rasa suka cita adalah sama untuk semua orang, apakah itu untuk seni tari, seni musik dan seni rupa. Proses mencipta adalah sebuah proses yang melahirkan rasa suka cita. Rasa suka cita ini adalah yang bersifat spiritual, yang berada diatas yang bersifat ragawi, materiil, lahiriah dan bersifat sementara (Sahman 1993: 66).
Berdasarkan teori-teori yang ada, maka proses mencipta bisa dikategorikan menurut teori mimesis dan teori pengungkapan. Proses penciptaan yang bertolek dari teori mimesis yang menyatakan bahwa kerya seni adalah hasil dari tiruan alam, diawali dari pengamatan terhadap obyek alam. Hal tersebut sesuai dengan metafisika Plato yang mendalilkan adanya dunia ide pada taraf yang tertinggi sebagai realita Illahi. Pada taraf yang lebih rendah terdapat realita duniawi ini, merupakan cerminan semu dan mirip dengan realita Illahi itu (The Liang Gie 1976: 76).
Teori Plato sering diterapkan dalam proses penciptaan gerak tari klasik maupun tari kreasi. Dalam tari dikenal adanya gerak maknawi yaitu gerak sehari-hari yang mempunyai makna. Gerak maknawi ini setelah distilir akan menjadi gerak tari yang indah. Oleh karena itu tari lebih cenderung merupakan proses tiruan alam yaitu menirukan gerak sehari-hari baik dari gerak binatang, tumbuhan maupun manusia serta alam ciptaan Tuhan. Jadi karya seni menurut teori Plato, adalah tiruan dari suatu tiruan lain sehingga bersifat jauh dari kebenaran atau menyesatkan.
Bertolak belakang dengan teori mimesis, teori pengungkapan yang dipelopori Roesseau menitik beratkan pada konsep kreativitas di dalam proses penciptaan sehingga seorang seniman dalam proses penciptaannya selalu mengandalkan perasaan dan kreativitasnya. Dalam proses penciptaan menurut teori ini, unsur yang paling penting adalah intuisi atau inspirasi. Seorang pencipta dalam menciptakan sebuah karya biasanya dimulai oleh munculnya sebuah gagasan yang tidak dicari dengan susah payah tetapi lebih merupakan hasil penemuan. Gagasan datang, mungkin saja dengan tiba-tiba yang biasa disebut intuitif (spontan), tanpa didahului oleh renungan yang berkepanjangan.
Jika para ilmuan bekerja dengan bantuan daya penalarannya, maka para seniman perlu lebih mengandalkan perasaannya. Namun perasaan ini tidak boleh lebih terlalu berlebihan. Perasaan yang dimiliki pencipta harus yang mendalam dan jernih, artinya perasaan itu harus terkendali dan bahkan dapat membimbing langkah si pencipta (Sahman 1993: 67).
Proses penciptaan sebuah karya seni selalu berhubungan dengan aktivitas manusia yang disadari atau disengaja. Kesengajaan orang mencipta seni mungkin melalui persiapan yang lama dengan perhitungan-perhitungan yang matang dan proses penggarapannya pun mungkin memakan waktu yang cukup lama pula. Hasil seni yang dicapai melalui proses penciptaan yang melalui perhitungan teknis biasanya bersifat rasional. Hasil seni yang dicapai melalui proses penciptaan yang melalui perhitungan rasional akan mengandung estetika intelektual. Sementara itu hasil seni yang diciptakan berdasarkan perasaan biasanya bersifat emosional. Estetika yang ada pada hasil seni yang diperoleh dari aktivitas perasaan dikatakan estetika emosional (Bastomi 1990: 80).
B.Prinsip-prinsip penciptaan
Dalam proses penciptaan sebuah karya seni mengandung ciri-ciri bentuk estetis yang dibahas oleh ahli estetik De Witt H. Parker dalam bukunya The Analysis of Art (The Liang Gie 1976: 48). Ada 6 asas dalam estetika, yaitu :
1.The Principle of organic unity (asas kesatuan utuh)
Asas ini berarti bahwa setiap unsur dalam suatu karya seni adalah perlu bagi nilai karya itu dan karya tersebut tidak memuat unsur-unsur yang tidak perlu dan sebaliknya mengandung semua yang diperlukan.
2.The principle of theme (asas tema)
Dalam setiap karya seni terdapat satu ide induk atau peranan yang unggul berupa apa saja (bentuk, warna, pola irama, tokoh atau makna) yang menjadi titik pemusatan dari nilai keseluruhan karya itu.
3.The principle of thematic variation (asas variasi menurut tema)
Tema dari suatu karya seni harus disempurnakan dan diperbagus dengan terus menerus mengumandangkannya.
4.The principle of balance (asas keseimbangan)
Keseimbangan adalah kesamaan dari unsur-unsur yang berlawanan atau bertentangan. Dalam karya seni walaupun unsur-unsurnya tampaknya bertentangan tetapi sesungguhnya saling memerlukan karena bersama-sama menciptakan kebulatan.
5. The principle of evolution (asas perkembangan)
Kesatuan dari proses yang bagian-bagian awalnya menentukan bagian-bagian selanjutnya dan bersama-sama menciptakan suatu makna yang menyeluruh.
6.The principle of hierarchy (asas tata jenjang)
Kalau asas variasi menurut tema, keseimbangan dan perkembangan mendukung asas-asas utama kesatuan utuh, maka asas yang terakhir ini merupakan penyusunan khusus dari unsur-unsur dalam asas-asas tersebut.
IV.Proses Kreativitas Dalam Seni
Proses kreatif sebagai proses mental dimana pengalaman masa lampau dikombinasikan kembali, sering dalam bentuk yang diubah sedemikian rupa sehingga timbul pola-pola baru, bentuk-bentuk baru yang lebih baik untuk mengatasi kebutuhan tertentu (Arnolt dalam Bastomi 1990: 108). Proses kreatif dimulai dari dalam diri manusia berupa pikiran, perasaan atau imajinasi kreatif manusia kemudian dituangkan menggunakan media dan teknik tertentu, sehingga melahirkan karya-karya kreatif . Utami Munandar (dalam Zahri Jas 1995: 2) menyatakan bahwa secara luas kreativitas bisa berarti sebagai potensi kreatif, proses kreatif dan produk kreatif. Proses kreativitas melalui kegiatan seni adalah jalan sebaik-baiknya yang dapat dilakukan sebab melakukan kegiatan seni berarti terjadi suatu proses kreatif.
Menurut Herman Von Helmholtz (dalam Winardi dalam Bastomi 1990: 109-110) proses kreasi melalui tiga tahapan, yaitu :
Pertama, tahap saturation yaitu pengumpulan fakta-fakta, data-data serta sensasi-sansasi yang digunakan oleh alam pikiran sebagai bahan mentah dalam menghasilkan ide-ide baru. Dalam hal ini, semakin banyak pengalaman atau informasi yang dimiliki oleh seseorang mengenai masalah atau tema yang digarapnya semakin memudahkan dan melancarkan pelibatan dirinya dalam proses tersebut.
Kedua, tahap incubation yaitu tahap pengendapan. Semua data informasi serta pengalaman-pengalaman yang telah terkumpul kemudian diolah dan diperkaya dengan masukan-masukan dari alam prasadar seperti intuisi, semua pengalaman dan pengetahuan yang relevan juga fantasi dan asosiasi. Inspirasi yang munculnya secara tiba-tiba merupakan manifestasi kerja sebelumnya yang berlangsung di bawah sadar. Ispirasi segera disusul oleh visi. Visi adalah kemampuan untuk melihat potensi dalam sebuah ide baru. Visi akan membantu memperkuat dan menjernihkan pandangan inspirasi akan menjadi lebih jelas gambarannya setelah tumbuh dalam berkembangnya imajinasi. Sedangkan imajinasi adalah daya untuk menghasilkan beberapa fungsi perlambang (symbol).
Ketiga, tahap illumination, jika pada tahap persiapan orang masih mencari-cari dan pada tahap inkubasi orang berada dalam proses dan penyusunan apa yang diperoleh sebelumnya, maka pada tahap nini semuanya telah jelas. Idenya jelas apa yang dicitakan telah tercapai. Kemudian yang bersangkutan tinggal mengekspresikan.
Untuk mengekspresikan kreasi seni sehingga menjadi bentuk nyata diperlukan keberanian dari orang yang kreatif serta suasana bebas yang mendukungnya. Kreativitas sebagai hasil banyak ditentukan oleh pribadi seseorang maka dari itu kreativitas sifatnya pribadi.
V.Penutup
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa seni sifatnya sangat relatif, seperti halnya orang memandang keindahan. Keindahan sebuah karya seni sifatnya subyektif meskipun diakui bahwa sebuah karya seni itu indah.. Keindahan sebagai hasil dari proses penciptaan seni, bisa bersumber dari alam sebagai ciptaan Tuhan yang merupakan keindahan Illahi atau dari ide yang pada taraf tertinggi sebagai realita Illahi atau bahkan ide pada taraf rendah yang terdapat pada realita duniawi.
DAFTAR PUSTAKA
Bastomi, Suwaji. 1990. Wawasan Seni
Semarang. IKIP Semarang Press
Rahmanto, B. 1992. Simbolisme Dalam Seni.
Basis Majalah Kebudayaan Umum.
Sahman, Humar. 1993. Estetika, Telaah Sistemik Dan Historik. Semarang IKIP Semarang Press.
Soedarso,Sp. 1998. Seni Dan Keindahan. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Seni Rupa ISI
Yogyakarta. ISI Yogyakarta.
Liang Gie, The. 1976. Garis-garis Besar Estetik
(Filsafat Keindahan). Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Zahri Jas. 1995. Pengembangan Budaya Kreatif Dan Nilai-nilai Estetik Dalam
Pendidikan Seni. Seminar Nasional Konsep dan
Implementasi Pendidikan Seni
Zajuli, M. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Semarang
EKSISTENSI WANITA PENARI DAN PENCIPTA TARI DI KOTA SEMARANG
Eny Kusumastuti
Staf Pengajar Jurusan Sendratasik FBS UNNES
Abstrak
Profesi sebagai pencipta tari dan penari bukan hanya dilakukan oleh kaum pria saja, tetapi juga kaum wanita, baik yang sudah menikah ataupun yang belum menikah. Masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah gambaran eksistensi wanita dalam profesi sebagai pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di Kota Semarang ? (2) Faktor-faktor apakah yang menghambat dan mendorong wanita pencipta tari dan penari untuk dapat eksis berprofesi sebagai pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di Kota Semarang? Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui, memahami, menjelaskan eksistensi, dan faktor-faktor yang menghambat dan mendorong wanita pencipta tari dan penari dalam seni tari. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan fokus penelitian wanita pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di Kota Semarang. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Teknik analisis data dengan cara mereduksi, mengklarifikasi, mendiskripsi, menyimpulkan dan menginterpretasikan semua informasi secara selektif. Teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan dependabilitas dan konfirmabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1 tahun terakhir ini, dari 20 orang wanita, 4 orang wanita masih eksis berprofesi sebagai pencipta tari dan penari, dan 7 orang wanita masih eksis berprofesi sebagai penari. Faktor-faktor yang menghambat adalah (1) rasa deskriminatif, (2) kultur (budaya), (3) keluarga, (4) naluri kewanitaan, (5) wanita pekerja, (6) latar belakang pendidikan, (7) orientasi komersil dalam berkarya, (8) pandangan masyarakat, (9) apresiasi masyarakat yang masih rendah. Faktor-faktor yang mendorong, adalah (1) kesetaraan gender, (2) kultur (budaya), (3) keluarga, (4) naluri kewanitaan, (5) latar belakang pendidikan, (6) orientasi komersial dalam berkarya.
Kata kunci : eksistensi, wanita penari, wanita pencipta tari, karya tari.
A. Pendahuluan
Aktivitas kesenian, khususnya dalam mencipta dan menampilkan sebuah karya seni merupakan suatu kebutuhan hidup individual maupun sosial. Mencipta dan menampilkan sebuah karya seni merupakan suatu bentuk aktualisasi diri yang bisa dilihat dan diapresiasi oleh orang lain. Berkarya atau kegiatan mencipta karya seni dapat merupakan sekedar hobi yaitu sebagai selingan dalam aktivitas sehari-hari atau merupakan sebuah profesi yaitu merupakan pekerjaan utama dalam kehidupan sehari-hari. Pencipta karya seni tari atau penari adalah suatu bidang profesi yang dapat menjadi pilihan hidup manusia terutama yang memiliki potensi kreatif di bidang ini. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa profesi di bidang ini juga dapat membawa sukses yang gemilang. Karya-karya berkualitas yang dihasilkan oleh seniman pencipta ataupun penari profesional dapat memperoleh penghargaan baik secara moril ataupun finansial.
Banyak orang yang telah menunjukkan eksistensinya sebagai seniman pencipta atau penari profesional diberbagai tempat, kota, negara atau bahkan telah berkiprah di manca negara. Tetapi ada fenomena yang menarik untuk dicermati dan perlu mendapat kajian lebih dalam yaitu profesi pencipta atau penari lebih banyak didominasi oleh pria dibandingkan dengan wanita. Hal ini lebih disebabkan karena kodrat wanita sebagai ibu rumah tangga. Menurut penelitian Endang (2003) mengenai Citra Wanita Penari Tayub, menunjukkan bahwa menjadi penari Tayub merupakan suatu tantangan. Hal ini disebabkan karena tugas yang dijalankan sebagai penari Tayub adalah malam hari, yaitu pada saat seorang ibu dibutuhkan oleh anak untuk membimbing belajar serta mendampingi anak tatkala hendak berangkat tidur. Disamping itu, adanya pandangan mayarakat terhadap mereka, bahwa profesi sebagai penari Tayub dianggap kurang terpuji.
Fenomena tersebut menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam lagi untuk menemukan jawaban mengapa terjadi kesenjangan terhadap eksistensi wanita di dalam profesinya sebagai seniman dan faktor-faktor yang mendorong dan menghambatnya. Sebab apabila dilihat dari potensi individual yang dibutuhkan oleh seorang penari, wanita sudah memilikinya. Dari soal citarasa keindahan, kehalusan rasa dan keterampilan seni, justru wanita dapat lebih unggul dibandingkan pria.
Berbicara tentang seni, tentu tidak terlepas dari arti seni itu sendiri, seniman pencipta, seniman pelaku maupun karya seni sebagai produk. Seni adalah suatu kegiatan manusia yang secara sadar dengan perantara tanda-tanda lahiriah tertentu menyampaikan pesan-pesan yang telah dihayatinya kepada orang lain sehingga mereka kejangkitan perasaan-perasaan ini dan juga mengalaminya (Tolstoy dalam The Liang Gie, 1976 : 60). Hakekat seni adalah suatu ranah kegiatan manusia yang bersifat ekspresif, yaitu bersifat pernyataan, atau khususnya ungkapan rasa. Ada sejumlah gagasan yang didominasi oleh imajinasi yang hendak disampaikan oleh seniman. Pihak yang dituju dalam penyampaian itu diharapkan akan terpukau dan terlarut ke dalam sajian seni yang bersangkutan (Sedyawati, 1992 : 10). Untuk memungkinkan keterpukauan itu, maka ungkapan seni harus disalurkan melalui teknik yang telah terolah secara khusus oleh seniman.
Seniman adalah seseorang yang mempunyai kemahiran teknis dalam suatu bidang kegiatan tertentu, dan kemahiran itu dipraktekkan dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tertentu akan rasa (dan perasaan). Seniman mempunyai kriteria-kriteria tertentu, yaitu (1) seseorang yang dengan sarana teknisnya itu, menyampaikan pesan-pesan tertentu yang pada hakekatnya menempatkan manusia sebagai aktor yang merenungkan, menilai dan mengambil sikap ataupun tindakan dalam menata kehidupannya di dunia (2) kedudukan seniman sebagai penemu adalah seseorang yang mampu mencari sumber-sumber baru, ataupun mengembangkan gagasan-gagasan artistik baru yang berujung pada ditemukannya teknik-teknik maupun media baru sebagai sarana ekspresi seni (Buchori, 1996 :2). Selanjutnya seniman dapat digolongkan kedalam seniman pencipta dan seniman pelaku.
Aktualisasi kedudukan seniman dalam masyarakat disalurkan melalui pengikatan diri dengan jenis-jenis pekerjaan tertentu. Termasuk diantaranya yang memilih pekerjaan di bidang seni tari atau profesi ke-senitarian, yaitu menjadi seniman profesional dalam arti melakukan pekerjaan seni tari baik sebagai pencipta maupun penari sebagai pekerjaan pokok (Sedyawati, 1992 :7). Dalam proses kreatif seni, khususnya seni tari ini, seniman berupaya menunjukkan eksistensinya lewat karyanya atau aktivitas kesenitarian dengan mencipta atau menampilkan dan sekaligus mengkomunikasikan karyanya kepada khalayak pengamat melalui gelar karya atau pertunjukan-pertunjukan.
Karya seni, adalah bentuk inderawi yang diciptakan manusia, yang dengan sendirinya memeragakan perasaan terhadap suatu nilai. Nilai yang dimaksud adalah nilai estetis yang berkaitan dengan rasa senang yang timbul pada saat menghayati bentuk-bentuk baik yang alamiah maupun yang artistik secara murni (Bruyne dalam Sahman, 1993 : 29). Jadi apa yang disebut karya seni itu sesungguhnya bisa dilihat sebagai perpaduan antara wujud lahiriah yang bisa diamati dan perasaan terhadap nilai tertentu yang berdimensi rohaniah. Wujud lahiriah ini lewat ciri-ciri lahiriahnya mengejawantahkan sikap batin atau perasaan terhadap nilai tertentu itu. Begitu pula halnya dengan sikap batin itu akan memperoleh wujudnya yang harmonis secara langsung.
Seni tari merupakan salah satu karya seni yang penghayatannya menggunakan tubuh manusia sebagai media ungkap. Soedarsono (1978 : 4) menjelaskan bahwa tari sebagai ekspresi jiwa manusia melalui gerak-gerak yang indah. Substansi baku tari adalah gerak dan ritme (John Martin dalam Soedarsono, 1978 : 1). Gerak adalah pengalaman fisik yang paling elementer dari kehidupan manusia. Gerak tidak hanya terdapat di dalam denyutan-denyutan seluruh tubuh manusia untuk tetap dapat memungkinkan manusia hidup, tetapi gerak juga terdapat pada ekspresi dari segala pengalaman emosional. Curt Sach (dalam Sudarsono. 1978 : 1) menyatakan bahwa substansi dasar tari adalah gerak, tetapi gerak-gerak yang ada dalam tari itu bukanlah gerak yang realistis, melainkan gerak yang telah diberi bentuk ekspresif. Langer (1988 : 14) menekankan bahwa bentuk ekspresif itu adalah sebuah bentuk yang diciptakan manusia untuk bisa dirasakan (dinikmati dengan rasa). Gerak-gerak ekspresif adalah gerak-gerak yang indah, yang bisa menggetarkan perasaan manusia. Adapun gerak yang indah adalah gerak yang sudah distilir yang didalamnya mengandung ritme tertentu. Gerak yang indah ini, bukan saja hanya gerak-gerak yang halus dan indah saja tetapi gerak-gerak yang kasar, keras, kuat, penuh dengan tekanan-tekanan serta aneh pun dapat merupakan gerak yang indah.
Pada dasarnya gerak terungkap atau terwujud dengan adanya elemen-elemen dasar dari gerak yang membuat tari dapat menjadi ekspresi seni. Elemen-elemen dasar tari adalah tenaga, ruang dan waktu (Humprey, 1983 :23). Tenaga adalah unsur atau kekuatan yang mengawali, mengendalikan serta menghentikan gerak. Ruang merupakan unsur pokok yang turut mewujudkan gerakan. Ruang ini bisa diartikan sebagai ruang gerak dan ruang tempat menari. Unsur ruang juga meliputi posisi, level, volume dan fokus. Waktu adalah lama pendeknya rangkaian-rangkaian gerak. Unsur waktu terbagi menjadi dua yaitu ritme dan tempo. Ritme adalah ukuran-ukuran detail waktu dari awal bergerak sampai menghentikan geraknya. Sedangkan tempo adalah ukuran waktu dalam menyelesaikan suatu gerakan atau rangkaian gerak.
Di samping elemen-elemen dasar gerak, tari juga mengandung nilai-nilai keindahan. Nilai-nilai keindahan tari ini terletak pada wiraga, wirama dan wirasa. Wiraga adalah ungkapan secara fisik dari awal sampai akhir menari. Wirama adalah ketepatan ritme dan tempo gerak yang selaras dengan irama iringannya. Sedangkan wirasa adalah penjiwaan atau kemampuan penari didalam mengungkapkan rasa emosi yang sesuai dengan isi atau tema atau karakter dari tarian tersebut (Rusliana, 1984 : 14-15).
Yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah 1) bagaimanakah gambaran eksistensi wanita dalam profesi sebagai pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di kota Semarang ? 2) Faktor-faktor apakah yang menghambat dan mendorong wanita pencipta tari dan penari untuk dapat eksis berprofesi sebagai pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di kota Semarang ?
B. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Sasaran utama penelitian ini adalah : (1) eksistensi wanita pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di kota Semarang, (2) faktor-faktor pendorong dan penghambat eksistensi wanita pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di kota Semarang. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, cara yang dilakukan adalah melakukan observasi, wawancara terarah dan tidak terarah serta studi dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada analisis Miles dan Huberman (1994 :10) dimana proses analisis data yang digunakan secara serempak mulai dari proses pengumpulan data, mereduksi, mengklarifikasi, mendiskripsikan, menyimpulkan dan menginterpretasikan semua informasi secara selektif. Langkah terakhir dari analisis data dalam penelitian ini adalah verifikasi atau pemeriksaan keabsahan data, memakai dependabilitas dan konfirmabilitas (Lincoln dan Guba dalam Jazuli, 2001 : 34).
C. Hasil dan Pembahasan
1.Eksistensi Wanita Pencipta Tari dan Penari Dalam Komunitas Seniman di Kota Semarang
Untuk mengetahui gambaran eksistensi wanita pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di kota Semarang, dapat dilihat dalam kegiatan gelar karya atau pementasan sebagai indikator utama dalam mengukur eksistensi dan produktivitas seorang pencipta tari dan penari. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini, dari 20 pencipta tari dan penari yang ada di kota Semarang hanya ada 4 orang wanita yang masih eksis mencipta tari, dan 7 orang wanita yang eksis sebagai penari. Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa frekwensi aktifitas wanita pencipta tari dan penari masih sangat kecil dalam berkarya. Hal ini disebabkan karena banyak faktor yang menghambat.
Komunitas seniman wanita pencipta tari dan penari di kota Semarang cukup banyak jumlahnya, baik yang belum menikah ataupun yang sudah menikah, yang tersebar di berbagai tempat, seperti sanggar, dan sekolah. Latar belakang pendidikan wanita pencipta tari dan penari bermacam-macam, mulai dari yang otodidak, lulusan sanggar sampai dengan sarjana pendidikan seni tari, dengan variasi pekerjaan yang bermacam-macam yaitu pelatih sanggar tari, murni sebagai pencipta tari dan penari, guru Sekolah Dasar, guru Sekolah Lanjutan Pertama, guru Sekolah Lanjutan Atas, dan Dosen Pendidikan Seni Tari.
Pada awalnya aktifitas kegiatan menari dan mencipta tari dimulai sejak masih belia / gadis sebagai penari, berlanjut sampai dengan setelah menikah dan memiliki anak. Meskipun ada diantaranya yang berhenti berkreasi setelah menikah dan memiliki anak. Hal ini disebabkan olah kesibukan mengurusi keluarga, dan anak, sehingga tidak memiliki waktu lagi untuk berkreasi menciptakan karya tari ataupun menari. Bagi wanita pencipta tari dan penari yang masih eksis sampai sekarang, dan mendapat dukungan dari pihak suami, anak-anak, dan keluarga selalu berusaha untuk sebisa mungkin mewujudkan ide dan karya yang bisa dinikmati oleh khalayak umum. Cara-cara yang dilakukan oleh suami, anak, dan keluarga dalam upaya mendukung wanita pencipta tari dan penari untuk bisa eksis berkarya di bidangnya, yaitu dengan memberikan waktu untuk berkarya, menghantar jemput, dan melihat hasil karya yang sudah jadi. Seperti yang diungkapkan Utina (wawancara, 8 Agustus 2007) bahwa suami dan keluarga selalu memberikan waktu dan kesempatan untuk berkarya, bahkan seringkali suami mendampingi apabila ada kegiatan mencipta tari, dan menari. Senada dengan pendapat Utina, Alim (wawancara, 8 Agustus 2007) mengatakan bahwa suami mendukung kegiatan isteri mencipta tari dan menari, sejauhmana isteri mampu membagi waktu dan menempatkan dirinya sebagai isteri, ibu, penari dan pencipta tari. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa sebagai suami, merasa bangga dengan kegiatan isteri dalam bidang seni tari karena selain bisa mendapatkan penghasilan tambahan, juga senang dengan kesibukan isteri dalam mewujudkan keinginannya dalam dunia seni tari.
Dunia ke-senitari-an bagi sebagian wanita pencipta tari dan penari bisa merupakan satu-satunya sumber penghasilan dalam keluarga, tetapi bagi sebagian wanita ada juga yang hanya sekedar untuk tempat berkreasi saja. Kegiatan mencipta tari dan menari bagi wanita dilakukan dengan rasa senang tanpa adanya keterpaksaan, seperti yang dikatakan Utina (wawancara, 8 Agustus 2007) bahwa kegiatan mencipta tari dan menari selalu dilakukan dengan perasaan senang, ringan tanpa adanya keterpaksaan dari pihak manapun. Kegiatan mencipta dilakukan tidak setiap saat dengan termin waktu yang ditentukan, akan tetapi tergantung dengan mood / kelonggaran ide si pencipta. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan untuk menerima pesanan dari pihak luar, misalnya untuk acara-acara tertentu. Sedangkan kegiatan menari, biasanya dilakukan setelah ada tawaran untuk pentas, misalnya pada acara pernikahan, peresmian sebuah tempat, sampai dengan acara festival tari. Kegiatan menari inipun tidak pasti dilakukan dengan termin waktu yang sama, akan tetapi tergantung pada permintaan pasar.
Karya tari yang merupakan hasil ciptaan wanita, hampir semuanya tidak pernah dipublikasikan dan dikomersialkan. Kalaupun ada yang dipublikasikan biasanya tergantung pada permintaan pasar, karena yang paling utama adalah proses pencapaian kepuasan diri. Kelemahan wanita pencipta tari dalam komunitas seniman kota Semarang, jarang sekali yang menyimpan dokumentasi karya tari hasil ciptaannya, sehingga apabila kemudian hari diperlukan tidak lagi mempunyai arsip atau dokumentasi.
Selain sebagai pencipta tari, wanita dalam komunitas seniman kota Semarang juga menari untuk konsumsi masyarakat umum. Bagi wanita penari yang belum menikah, rata-rata dalam satu bulan menari 10 kali ataupun lebih, berbeda dengan wanita yang sudah menikah, frekwensi menari tentu akan sangat jauh berkurang atau sama sekali sudah tidak pernah melakukannya lagi. Seperti yang diungkapkan Utina (wawancara, 8 Agustus 2007) bahwa dalam satu bulan bisa menari minimal 10 kali atau bahkan bisa lebih apabila musim orang punya kerja. Hal ini disebabkan karena kesibukan wanita penari yang sudah menikah jauh berbeda dengan wanita penari yang belum menikah. Tuntutan suami, anak, dan keluarga sangat membatasi ruang gerak wanita penari yang sudah menikah.
2.Faktor Penghambat dan Pendorong Wanita untuk Eksis sebagai Pencipta Tari maupun Penari
Berdasarkan data yang terkumpul, maka dapat dikemukakan adanya beberapa hal yang menjadi faktor pendorong dan penghambat bagi wanita untuk eksis sebagai pencipta tari dan penari, khususnya wanita pencipta tari dan penari di Kota Semarang.
1. Faktor Penghambat
1.1. Rasa Deskriminatif
Adanya rasa deskriminatif yang terkadang muncul dalam diri wanita yakni wanita terkadang ada yang merasa disisihkan karyanya oleh laki-laki yang mungkin terjadi karena kecilnya frekuensi kemunculan karya-karya wanita dalam tataran gelar karya dibandingkan laki-laki, dan image yang telah terbentuk seolah-olah dalam hal kegiatan kesenitarian, laki-laki jauh lebih unggul dari pada wanita baik kualitas maupun kuantitas karyanya. Sehingga terkadang wanita ada yang merasakan seolah-olah didiskriminasikan.
1.2. Pengaruh Kultur (budaya)
Dalam pandangan kebudayaan Jawa, ada pandangan yang beranggapan bahwa bagi wanita seolah-olah seni itu tabu karena identik dengan masyarakat bawah. Orang tua terkadang tidak rela bila anaknya terutama perempuan tampil berprofesi sebagai seniman. Pencipta tari atau penari identik sebagai penghibur dan dirasa kurang terhormat dengan predikat tersebut di kalangan masyarakat. Hal ini berdampak pada anak perempuan maupun laki-laki yang akan merasa malu apabila berprofesi sebagai seniman. Sehingga secara budaya muncul gejala bahwa yang memilih profesi seni khususnya seni tari adalah kalangan masyarakat menengah ke bawah. Selain itu, kehidupan sosial budaya Jawa juga dapat dikatakan kurang mendukung eksistensi wanita sebagai pencipta tari maupun penari.
1.3. Pengaruh Keluarga
Pada umumnya wanita dalam kehidupannya tidak akan pernah terlepas dari keluarga, demikian pula dengan wanita dalam profesi peƱcipta tari maupun penari. Wanita yang belum menikah akan mendapatkan pengaruh yang besar dari orang tua dan saudara, demikian pula bagi wanita yang sudah menikah akan mendapatkan pengaruh yang besar dari suami dan anak-anaknya. Wanita yang sudah menikah dan berperan sebagai ibu maupun sebagai istri harus mengabdi kepada suami dan mengurusi keluarga yang sudah barang tentu sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran. Sementara itu, profesi sebagai pencipta tari maupun penari sangat membutuhkan waktu, tenaga dan pikiran, serta suasana yang mendukung. Sebagai pencipta tari, pada saat ada ide untuk berkarya mungkin tidak bisa secepatnya tersalurkan karena terganggu oleh anak dan urusan rumah tangga. Berbeda dengan wanita yang belum menikah, mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk berprofesi sebagai pencipta tari maupun penari karena belum mempunyai kesibukan mengurus keluarga (Haryanti, wawancara, 15 Agustus 2007). Lebih lanjut Haryanti mengatakan, bahwa wanita Jawa yang sudah menikah identik dengan seorang isteri yang taat mengabdi kepada suami sehingga tidak boleh melakukan aktifitas yang banyak menghabiskan waktu dan perhatiannya di luar kepentingan suami, keluarga dan rumah tangga (wawancara 15 Agustus 2007). Wanita kebanyakan kesulitan membagi waktunya untuk eksis sebagai pencipta tari dan penari karena urusan rumah tangga dan keluarga, apalagi bagi wanita yang mempunyai pekerjaan lain tentunya akan semakin kesulitan dan menjadi penghambat untuk berkarya dan eksis sebagai pencipta tari dan penari.
1.4. Naluri Kewanitaan
Naluri dalam kedudukan sebagai wanita, yakni ibu rumah tangga atau isteri yang lebih banyak menyita pikiran, tenaga dan waktu untuk keluarga, mengurus rumahtangga dan anggota keluarga, baik suami maupun anak-anaknya (Haryanti, wawancara, 15 Agustus 2007).
1.5. Wanita Pekerja
Wanita yang bekerja atau mempunyai profesi lain, menghambat kemauan dan potensinya dalam kegiatan kesenitarian. Hal ini terjadi karena waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian bahkan biaya sudah terbagi kepada profesi lain sehingga secara otomatis ikut menghambat kemauannya untuk eksis sebagai pencipta tari maupun sebagai penari.
1.6. Latar Belakang Pendidikan
Latar belakang pendidikan seni tari bagi wanita, sesungguhnya menunjukkan persentase yang cukup tinggi dibandingkan dengan pria, sehingga pengembangan lebih lanjut untuk menjadi seorang pencipta tari dan penari profesional lebih luas. Akan tetapi faktor minat dari awal untuk menjadi pencipta tari dan penari sangat kecil sehingga sangat sedikit wanita yang eksis sebagai pencipta tari dan penari. Pada umumnya wanita lebih memilih untuk menjadi seorang pendidik seni tari, karena dianggap lebih mudah, lebih sederhana dalam arti secara ekonomi lebih cepat memperoleh hasil secara berkala dan juga lebih terhormat di mata masyarakat.
1.7. Orientasi Komersial dalam Berkarya
Perlu disadari bahwa di dalam berkarya seni diperlukan biaya dengan harapan menghasilkan karya yang mudah laku terjual, sehingga hal ini menyebabkan terbelenggunya proses kreatif.
1.8. Pandangan Masyarakat
Pandangan sebagian masyarakat yang memandang profesi seniman khususnya seni tari sebagai sosok yang bebas dan tidak teratur sehingga banyak orang tua yang tidak menghendaki anaknya terutama anak wanitanya menjadi seniman. Pada umumnya, orang tua mengarahkan anaknya sejak kecil untuk menjadi seorang yang mempunyai profesi di luar seniman, karena pekerja seni dipandang identik dengan kalangan bawah yang hidupnya tidak teratur dan kerjanya tidak menjanjikan secara ekonomis.
1.9. Apresiasi Masyarakat yang masih rendah
Apresiasi masyarakat yang masih rendah terhadap karya seni tari tidak bisa menjamin kontiunitas ekonomi wanita pencipta tari maupun penari. Mencipta tari ataupun menari tidak dapat dijadikan sandaran perekonomian keluarga secara rutin setiap bulan. Bahkan terkadang kerja seni terasa sia-sia karena banyak menghabiskan waktu, perhatian dan biaya, sementara itu pada saat-saat tertentu terutama yang sudah berkeluarga tidak bisa berspekulatif bermain-main dengan waktu akibat kebutuhan rumah tangga sudah mendesak dan pasti. Selain itu iklim seni kadang tidak terbentuk dengan baik karena sikap masyarakat dan pemerintah yang kurang apresiatif terhadap karya-karya seni tari. Akibatnya penghargaan terhadap hasil karya tersebut menjadi sulit dan menjadikan seniman kurang bersemangat untuk eksis sebagai pencipta tari dan penari profesional. Dengan kata lain, masyarakat belum tahu mengkonsumsi seni dengan baik sehingga tidak memberikan harapan hidup untuk pekerja seni.
2. Faktor Pendorong
2.1. Kesetaraan Gender
Adanya kesetaraan gender antara wanita dan laki-laki dalam segala aspek kehidupan sangat berpengaruh positif terhadap eksistensi wanita baik yang sudah menikah atau belum menikah dalam proses mencipta tari maupun menari. Pada awalnya segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan seni tari selalu dihubungkan dengan keberadaan wanita yang lemah lembut, gemulai, halus, dan ekspresif, sehingga jarang sekali laki-laki yang mau menggeluti seni tari karena sering kali diidentikkan dengan laki-laki yang ke-wanita-an (banci) (Utina, 8 Agustus 2007). Sejalan dengan perkembangan waktu, seni tari sekarang ini bukan hanya sebagai komoditas wanita saja akan tetapi laki-laki juga berminat menggelutinya bahkan menjadikan sumber utama mata pencaharian. Dengan demikian, tidak ada lagi image yang mengatakan bahwa laki-laki lebih unggul dalam segala bidang termasuk seni tari, tetapi wanita juga mampu eksis dalam bidang seni tari khususnya sebagai pencipta tari maupun penari. Hal tersebut mendorong wanita untuk tetap eksis di dalam profesinya sebagai pencipta tari maupun penari.
2.2. Kultur (budaya)
Dalam kebudayaan Jawa, ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa seni bagi seorang wanita adalah tabu dan identik dengan masyarakat kelas menengah ke bawah, akan tetapi ada pula yang beranggapan bahwa menggeluti seni budaya adalah cermin budi pekerti yang luhur, sehingga wanita berhak tampil berprofesi sebagai seniman. Seperti halnya yang dilakukan oleh wanita dalam lingkungan keraton, mencipta tari dan menari adalah sebuah profesi yang hampir tidak pernah ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan untuk menjaga kelestarian seni dan budaya setempat. Hal inilah yang mendorong wanita untuk tetap eksis berprofesi sebagai pencipta tari dan penari.
2.3. Keluarga
Wanita, baik yang sudah menikah ataupun belum menikah dalam profesinya sebagai pencipta tari dan penari sangat membutuhkan dukungan dari keluarga dalam beraktifitas. Suami, anak, orang tua, dan saudara sangat mendukung eksistensi wanita yang sudah menikah baik sebagai pencipta tari maupun penari. Sementara itu, bagi wanita yang belum menikah, orang tua, saudara dan lingkungan, sangat berperan dalam eksistensinya sebagai pencipta tari dan penari terlebih lagi waktunya belum habis tersita oleh urusan keluarga.
2.4. Naluri Kewanitaan
Wanita dikenal dengan karakternya yang lemah lembut, halus, perasa, ekspresif dan mempunyai naluri yang tajam. Hal tersebut menjadikan salah satu pemicu wanita untuk berkarya dalam bidang seni tari. Dengan naluri kewanitaannya yang tajam, wanita mampu eksis sebagai pencipta tari maupun penari.
2.5. Latar Belakang Pendidikan
Latar belakang pendidikan mampu menjadi salah satu pendorong wanita untuk eksis sebagai pencipta tari maupun penari. Hal ini disebabkan karena pengetahuan dan ruang lingkup tentang penciptaan tari dan teknik-teknik menari sudah didapatkan melalui pendidikan yang ditempuh, sehingga sangat membantu dalam proses penciptaan tari dan menari.
2.6. Orientasi Komersial dalam Berkarya
Harga jual sebuah karya seni yang tinggi menjadi salah satu pemicu wanita untuk eksis sebagai pencipta tari maupun penari dengan harapan mampu menjadi sumber penghasilan tambahan ataupun sampingan.
D. Simpulan
Dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini, dari jumlah 20 orang wanita pencipta tari dan penari hanya 4 orang wanita yang masih eksis mencipta tari, dan 7 orang wanita yang eksis menari, sehingga dapat disimpulkan bahwa frekwensi aktifitas wanita pencipta tari dan penari masih sangat kecil dalam berkarya. . Hal ini disebabkan banyak faktor yang menghambat wanita untuk bisa eksis di dunia seni tari, meskipun begitu masih ada sebagian kecil wanita yang sejak masih gadis sampai setelah menikah masih tetap eksis di dunia seni tari.
Hal ini disebabkan banyak faktor yang menghambat wanita untuk bisa eksis di dunia seni tari, meskipun begitu masih ada sebagian kecil wanita yang sejak masih gadis sampai setelah menikah masih tetap eksis di dunia seni tari. Faktor yang menghambat wanita untuk eksis di dalam kegiatan mencipta tari dan menari, antara lain adalah : (1) rasa deskriminatif, (2) kultur (budaya), (3) keluarga, (4) naluri kewanitaan, (5) wanita pekerja, (6) latar belakang pendidikan, (7) Orientasi komersial dalam berkarya, (8) pandangan masyarakat, (9) apresiasi masyarakat yang masih rendah. Sedangkan faktor-faktor yang mendorong adalah (1) adanya kesetaraan gender, (2) kultur (budaya), (3) keluarga, (4) naluri kewanitaan, (5) latar belakang pendidikan, (6) orientasi komersial dalam berkarya.
DAFTAR PUSTAKA
Buchori. 1996. Sciene Seni & Fungsi Seni. Makalah Penataran Metodologi Penelitian.
Surakarta. 24-29 Agustus 1996.
Endang Ratih.2001. Pengambil Keputusan Bagi Wanita Untuk Menjadi Penari Lengger.
Laporan Penelitian. Lembaga
Penelitian UNNES
-------.2003. Citra Wanita Penari Tayub. Laporan
Penelitian. Lembaga Penelitian UNNES.
Humprey. Doris. 1983. Seni Menata Tari. Terj. Sal Murgianto. Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta.
Langer, Sussane K. 1988. Problematika Seni. Terj. FX. Widaryanto. Bandung : ASTI
Bandung.
Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi.
Jakarta : UI
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 1994. Pendekatan Sistem Budaya dalam Penelitian Seni dan
Pendidikan Seni (Sapuan Kuas Besar dalam Kerangka Ilmu Sosial), makalah
Seminar Nasional Pendekatan-Pendekatan dalam Penelitian Seni dan Pendidikan
seni, dalam rangka Dies Natalis XXIX IKIP Semarang : Semarang tanggal 11
April 1994.
Rusliana. Iyus. 1984. Seni Tari untuk KPG. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sedyawati, Edi. 1992. Cabang dan Ciri Seni. Jakarta. Pusat Penelitian Kemasyarakatan
dan Budaya. Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Soedarsono. 1978. Pengantar Pengetahuan Tari. Yogyakarta : ASTI.
The Liang Gie. 1974. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta : Karya.
Selasa, 09 Juni 2009
HANDOUT KEWIRAUSAHAAN
Eny Kusumastuti
PERTEMUAN I
1. Pokok Bahasan : Wirausaha dan Prinsip-prinsip Wirausaha
2. Sub. Pokok Bahasan :
- Pengertian
- Peranan Wirausah
- Prinsip-prinsip Bisnis
- Prinsip-prinsip Wirausaha
3. Tujuan Pembelajaran Khusus : Setelah pertemuan selesai, mahasiswa mampu memahami pengertian dan peranan wirausaha.
4. Wirausaha
4.1 Pengertian Wirausaha
Wirausaha bila ditinjau dari etimologinya berasal dari kata ”wira” dan ”Usaha”. Kata ”wira” berarti ”teladan” atau patut dicontoh, sedangkan ”usaha” berarti ”kemauan keras”, memperoleh manfaat. Jadi seorang wirausaha dapat diartikan ”seorang yang berkemauan keras dalam bisnis yang patut menjadi teladan hidup”. Dengan demikian seorang wirausaha dapat dideskripsikan sebagai seorang yang mempunyai:
a. Wawasan komersiil dan kesadaran akan pasar.
b. Kemampuan untuk bekerja secara tekun dan mandiri.
c. Pikiran yang inovatif dan kreatif.
d. Kemampuan untuk memanajemeni dan mengarahkan perubahan.
e. Kapasitas mengorganisasi dan keterampilan.
f. Stamina dan daya tahan.
g. Kemampuan untuk bergaul yang baik dengan orang dari segala tingkatan.
Untuk menjadi seorang wirausaha, harus melalui beberapa tahapan yaitu:
a. Tahap Eksplorasi (Penjelajahan)
Seseorang di masa akhir remaja sampai akhir usia dua puluhan, membutuhkan kegiatan menjelajah, bereksperimen dan mengambil resiko persisi seperti perusahaan perintis.
b. Tahap Konsolidasi
Pada tahap ini, seseorang butuh menetap dalam suatu rutinitas untuk memantapkan diri anda dan untuk berspesialisasi.
c. Tahap Pembaharuan
Pada tahap ini, seseorang mulai meluaskan cakrawala, dimana seseorang menjadi terlibat dalam pengembangan diri, orang lain atau terhadap produk atau pasar dalam arti seluas-luasnya.
d. Tahap Individualisasi
Seseorang pada tahap ini telah menjadi matang dimana telah menimba dari pusat sejati manusia dan menemukan jati diri sehingga dapat mewujudkan impian-impian masa mudanya.
Kualitas wirausaha sebagian besar bersifat naluriah dan karenanya sulit dibina. Namun melalui tantangan dan dukungan yang sesuai, akan dapat berkembang sebagai wirausaha yang sukses. Sebagai wirausaha tidak akan berkembang, hanya dengan menghadiri kursus pelatihan formal, karena wirausaha lebih butuh dihadapkan dengan tantangan pribadi dan bisnis yang harus diberi respons.
4.2 Peranan Wirausaha
Peranan wirausaha adalah untuk meresapi aktivitas usaha dengan semangat kewirausahaan dan mengubah semangat itu menjadi energi untuk terjun ke dalam pembaharuan-pembaharuan. Beberapa wirausaha mungkin menganggap keseimbangan antara resiko dan keamanan yang ditawarkan oleh perusahaan yang terstruktur secara otonom lebih dapat diterima dibanding bisnis milik sendiri yang tidak dikenali peluangnya untuk mengembangkan usaha baru. Maka para wirausaha tidak tertarik untuk menaiki tangga perusahaan dengan cara konvensional.
4.3 Enam Belas Prinsip Bisnis
Menurut Tao Chu Kung, ada enam belas prinsip bisnis yang harus dipegang oleh wirausaha, yaitu:
a. Rajin dan tekun berusaha, kemalasan akan berakibat petaka.
b. Hemat dalam pengeluaran, pemborosan menggerogoti modal.
c. Ramah kepada semua orang, ketidaksabaran mendatangkan kerugian.
d. Jangan menyia-nyiakan kesempatan, penundaan menghilangkan peluang.
e. Lugas dalam bertransakasi, keraguan membawa pertikaian.
f. Berhati-hati dalam memberi kredit, kemurahan hati yang berlebihan memboroskan
modal.
g. Periksa semua account dengan cermat, kelalaian menghambat rejeki.
h. Bedakan yang baik dari yang jahat, ketidakpedulian melumpuhkan usaha.
i. Kendalikan sediaan dengan sistematis, kecerobohan menciptakan kekacauan.
j. Adil dan tidak pilih terhadap karyawan, prasangka menimbulkan kemalasan.
k. Periksa dengan cermat semua nota pengeluaran dan pemasukan, kealpaan berakibat
kemahalan.
l. Periksa dagangan sebelum diterima, kesembarangan mendatangkan kemalangan.
m. Kaji dengan teliti setiap perjanjian, ingkar menghancurkan kepercayaan.
n. Bijaksana dan jujur dalam usaha, manajemen yang buruk membuka peluang korupsi.
o. Tunjukkan rasa tanggungjawab, sikap tak bertanggungjawab mengundang kesulitan.
p. Bersikap tenang dan penuh percaya diri, sikap nekat menghambat perkembangan.
4.4 Prinsip-prinsip Wirausaha
Banyaknya orang melakukan suatu usaha, maka akan terjadi persaingan yang ketat diantara mereka untuk menjadi wirausahawan yang berhasil. Untuk itu, perlu diterapkan prinsip-prinsip yang tepat dalam berwirausaha agar setiap usaha yang dilakukan dapat mencapai hasil yang maksimal. Prinsip-prinsip tersebut adalah: (1) Mengenal potensi diri, (2) Berani menghadapi tantangan, (3) Mental yang tangguh dan berkemauan yang keras, (4) Disiplin diri, (5) Hemat dan cermat, (6) Keterbukaan, (7) Wibawa dan jujur, (8) Percaya diri, (9) Berpegang pada program, (10) Modal kecil hasil besar, (11) Memperhatikan kebutuhan konsumen, (12) Tepat waktu, (13) Memperhatikan keadaan pasar, (14) Bijaksana.
5. Sumber Belajar :Tarmudji, Tarsis.1996.Prinsip-prinsip Wirausaha.Yogyakarta:Liberty
6. Metode Pembelajaran : Ceramah dan diskusi
7. Evaluasi
a.Apa yang dimaksud dengan wirausaha?
b.Apa sajakah yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha?
c.Tahapan apa sajakah yang harus dilalui oleh seorang wirausaha ?
d.Apakah peranan wirausaha?
e.Sebutkan dan Jelaskan enam belas prinsip bisnis!
f.Sebutkan dan jelaskan prinsip-prinsip wirausaha !
PERTEMUAN II
1. Pokok Bahasan : Karakter Wirausaha
2. Sub. Pokok Bahasan :
- Wirausaha Bertindak Berdasarkan Intuisi dan analisis
- Wirausaha Tampil Sebagai Pembaharu
3.Tujuan Pembelajaran Khusus : Mahasiswa mampu memahami karakter wirausaha
4. Materi
4.1 Wirausaha Bertindak Berdasarkan Intuisi dan analisis.
Dalam mengelola perusahaan, seorang wirausahawan tidak lepas dari berbagai/tindakan yang berdasarkan pada pemikiran-pemikiran yang akurat. Dengan satu tindakan yang tepat berarti dapat dikatakan telah menjawab satu tantangan atau lebih yang berisi pemikiran yang cemerlang. Wirausahawan atau interpreneur adalah pengusaha yang mampu melihat peluang mencari dana dan sumber daya lain yang diperlukan untuk menggarap peluang tersebut. Seorang wirausaha dituntut untuk bertindak berdasarkan atas analisa-analisa dari seluk beluk kegiatan usaha yang akan dilakukan.
Intuisi adalah daya atau kemampuan untuk mengetahui sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari. Intuisi dan daya kreasi berperan lebih dominan, sementara daya analisis tetap ada namun sifatnya laten. Peter Ducker memformulasikan ciri-ciri khusus yang harus dimiliki seorang wirausaha adalah; (1) bekerja keras, (2) optimistis, (3) berupaya menghasilkan satu cara yang terbaik, (4) dorongan untuk dapat berprestasi, (5) mampu mengorganisasi, (6) bertanggungjawa, (7) orientasi pada uang, (8) orientasi pada imbalan, dan (9) memperhatikan pada kualitas.
Pada tahap eksperimentasi agar pertumbuhan usaha lebih maju, ada beberapa hal yang perlu dianalisis, yaitu: (1) perencanaan misi dan visi, (2) proyeksi kebutuhan investasi awal, dan (3) penentuan tingkat laba yang layak.
4.2 Wirausaha Tampil Sebagai Pembaharu
Pandangan bisnis modern mengajarkan tentang bagaimana melakukan pembaharuan prinsip-prinsip ekonomi yang sudah sulit untuk dipertahankan lagi. Para usahawan dewasa ini, berbeda pandangan bisnisnya dibandingkan dengan para usahawan generasi terdahulu, perbedaannya terletak dalam bidang gaya hidup, nilai-nilai dan lingkungan, masyarakat yang lebih luas, mereka lebih banyak memperoleh informasi mutakhir, lebih memperhatikan aspek-aspek sosial dan mereka mengharapkan lebih banyak daripada usaha-usaha kerja yang dilakukan. Dengan berbagai peluang yang muncul, wirausaha dapat menjalin hubungan dengan negara lain karena bisa mengekspor produk dalam negeri, yang tentunya membawa pengaruh kedua belah pihak sehingga berkembanglah peluang-peluang lainnya. Seorang wirausaha mempunyai kemampuan lebih dalam mengembangkan kreativitas bisnis, sehingga dimungkinkan untuk selalu dibutuhkan kehadirannya untuk merubah perkapita penduduk Indonesia.
5.Sumber Belajar :Tarmudji, Tarsis.1996.Prinsip-prinsip Wirausaha.Yogyakarta: Liberty
6.Metode Pembelajaran : Ceramah dan diskusi
7.Evaluasi :
a.Bagaimanakah karakter seorang wirausaha?
b.Jelaskan apa yang dimaksud dengan wirausaha bertindak berdasarkan intuisi dan
analisis !
c.Jelaskan apa yang dimaksud dengan wirausaha tampil sebagai pembaharu !
PERTEMUAN III
1.Pokok Bahasan : Strategi Wirausaha
2.Sub. Pokok Bahasan :
- Masalah Membawa Berkah
- Peluang dapat diciptakan
- Pelanggan Seumur Hidup
- Belajar dari Sukses Orang Lain.
3.Tujuan Pembelajaran Khusus : Mahasiswa mampu memahami strategi wirausaha
4. Materi
4.1 Masalah Membawa Berkah
Suatu permasalahan itu, selalu atau pasti mempunyai jalan keluar walaupun serumit apapun masalah tersebut dengan penyelesaiannya akan membawa akibat yang bermanfaat. Dalam usaha atau bisnis seseorang yang merupakan bagian dari kehidupan, tentunya menghadapi masalah dan masalah tersebutpun akan memberi manfaat pada perusahaan sendiri ataupun pada konsumen atau pihak lain.
Cara untuk mengatasi maslah dalam usaha, antara lain: (1) melakukan riset, (2) usaha meningkatkan mutu/kualitas produk, dan (3) usaha meningkatkan promosi.
4.2 Peluang Dapat Diciptakan
Secara umum, peluang diartikan sebagai suatu kesempatan. Sedangkan pengertian peluang dalam usaha adalah sesuatu hal yang dapat dimasuki, atau dengan usaha yang dilakukan dapat diambil keputusan ke arah kemajuan dan pengembangan usaha. Peluang dapat diciptakan di semua bidang. Dalam menghadapi persaingan yang semakin hari semakin ketat, seorang pengusaha harus pandai dan aktif mencari peluang yang ada di pasar. Pasar yang dituju adalah pasar yang merupakan pusat-pusat kemakmuran dan pasar potensial.
Usaha yang dilakukan pengusaha dalam menciptakan peluang usahanya adalah dengan (1) mengenali produknya, (2) produk apa yang perlu dibuat, apa manfaatnya, (3) merk kemasan, label apa yang akan digunakan untuk setiap produk, dan (4) apa tujuan corak desain sebuah produk dan berapa banyak produk yang akan dibuat. Hal-hal tersebut harus dikaitkan dengan 4 ramuan pemasaran, yaitu; product/produksi, price/harga, place/tempat, promotion/promosi.
Agar perusahaan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produknya selain memperhatikan hal-hal di atas, maka produsen harus memperhatikan produk apa yang sedang ngetren juga dalam menyeleksi pasar sasaran harus melakukan perkiraan kuantitatif dari ukuran volume penjualan pasar untuk produk atau jasa yang laris.
Sebab-sebab kegagalan perusahaan dalam memasuki peluang usaha yang ada, adalah: (1) kurang ulet dan lekas putus asa, (2) kurang tekun dan kurang teliti, (3) kurang inisiatif dan kreatif, (4) tidak jujur dan tidak tepat, (5) kekeliruan dalam lapangan usaha, (6) mengambil kredit tanpa pertimbangan masak-masak, (7) kurangnya riset pemasaran dan kurang tanggap terhadap sistem informasi pemasaran,diantaranya menganggap remeh terhadap pesaing-pesaingnya sehingga produknya tidak laku, dan (8) tidak lakunya produk karena terlalu percaya diri, menganggap produknya yang terbaik .
4.3 Pelanggan Seumur Hidup
Pada umumnya orang berfikir bahwa produknya dijual lebih murah agar mendapatkan pelanggan yang banyak. Sebenarnya bukan itu yang dipikirkan oleh pelanggan. Memang setiap orang ingin membeli barang dengan harga murah, tetapi harga bukanlah satu-satunya alasan mengapa orang memutuskan untuk membeli suatu barang. Disamping harga, wirausaha harus bisa memanfaatkan iven-iven tertentu yang biasanya diabaikan oleh produsen. Misalnya, bila pada hari libur toko lain tutup, maka keadaan ini bisa dimanfaatkan untuk tetap membuka toko. Konsumen akan cenderung membeli di toko yang buka dan tidak menutup kemungkinan akan datang lagi untuk hari-hari berikutnya.
Cara-cara yang bisa ditempuh oleh produsen agar memperoleh konsumen dan lab yang lebih banyak, adalah :
a.Menanyakan kepada pelanggan, apa saja kebutuhan mereka.
- Berikan kesempatan kepada konsumen untuk melihat-lihat barang terlebih dahulu,
kemudian tanyakan dengan sopan apa yang dibutuhkannya.
- Jika pelanggan meminta bantuan, usahakan untuk membantu, bahkan seandainya barang
yang dibuthkan tidak tersedia, usahakan untuk tetap membantu mencarikannya meski
dengan keuntungan yang hanya sedikit.
b.Berikan pelayanan yang baik setiap kali.
- Bentuklah sistem bukan sekedar senyuman. Langkah-langkahnya, antara lain: (1)
dalam penerimaan pegawai, utamakan orang-orang yang mau bekerja keras, (2)
Penataan ruang usaha yang seindah, serapi, senyaman mungkin bagi para pelanggan,
dan (3) membuat inventarisasi barang yang tersedia sehingga memudahkan pelayanan.
- Jangan segan-segan memecat para pekerja yang tidak memperhatikan kepuasan
pelayanan bagi para pelanggan.
c.Cara mengurus pelanggan atau karyawan.
Ucapan terimakasih kepada konsumen dan karyawan sangat penting dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain, harus dilakukan oleh pemimpin perusahaan itu sendiri.
d.Kepemimpinan adalah unjuk kerja
e.Kesan itu penting
g.Menciptakan produk yang mudah dijual
h.Pinjam, pinjam, pinjam
i.Bisnis sendiri adalah isi iklan bisnis sendiri.
j.Berpikirlah bahwa pelanggan akan datang kembali.
4.4 Belajar dari sukses orang lain
Pengalaman sendiri tidak memberikan kemajuan yang cukup banyak oleh karena itu, wirausahawan harus banyak belajar dari pengalaman pendahulu-pendahulunya yang sudah sukses dalam usaha. Pengalaman-pengalaman itu bisa ditulis dalam bentuk buku, misalnya pembukuan dan keuangan. Ada enam kiat yang dapat membangun mental dan kepribadian wirausahawan, yaitu: (1) kemauan yang keras, (2) keyakinan kuat atas kekuatan sendiri, (3) kejujuran dan tanggungjawab, (4) ketahanan fisik dan mental, (5) ketekunan dan keuletan untuk bekerja keras, dan (6) pemikiran yang konstruktif dan kreatif.
5.Sumber Belajar: Tarmudji, Tarsis.1996.Prinsip-prinsip Wirausaha.Yogyakarta: Liberty
6.Metode Pembelajaran : ceramah dan diskusi
7.Evaluasi :
a. Masalah membawa berkah, mengapa demikian? Jelaskan!
b. Dalam wirausaha, peluang dapat diciptakan. Bagaimanakah caranya menciptakan
peluang dalam usaha?
c. Bagaimana cara seorang pengusaha agar mempunyai pelanggan seumur hidup?
d. Bagaimana caranya agar tetap menjadi wirausaha yang sukses?
PERTEMUAN IV
1.Pokok Bahasan : Landasan Kepemimpinan Wirausaha
2.Sub. Pokok Bahasan :
- Tanggung Jawab wirausaha
- Tipe-tipe Kepemimpinan
- Ajaran Kepemimpinan Menjadi Landasan Wirausaha
3.Tujuan Pembelajaran Khusus:Mahasiswa mampu memahami landasan kepemimpinan wirausaha
4. Materi
4.1 Tanggung Jawab Wirausaha
Seorang wirausaha pada dasarnya adalah seorang pemimpin usaha, keberhasilan untuk memimpin usaha sangat tergantung seberapa besar tanggungjawabnya dalam usaha yang merealisasi impiannya. Wirausaha bukan hanya dapat memberi perintah kepada orang lain, tetapi bila kegiatan yang dirancangnya tidak berjalan semestinya, wirausahawan mampu mengatasi dengan baik. Yang temasuk tanggungjawab dari seorang wirausaha adalah menggerakkan dan memimpin pelaksanaan kegiatan organisasi bisnis. Jika keputusan telah diambil untuk melaksanakan tugasnya, maka keputusan-keputusan itu harus menjadi tindakan-tindakan yang praktis, yaitu antara lain menetapkan tugas, menunjukkan tugas dan memberikan tugas. Tugas-tugas dapat diperinci secara jelas dan orang-orang diserahi tanggung jawab terhadapnya, sehingga mutu dari penyelenggaraan kerja akan lebih mudah dikendalikan. Untuk dapat menjalankan tugas secara efektif, perlu adanya persamaan pandangan antara pemberi perintah dan penerima perintah. Cara untuk menjamin adanya kesatuan kebijaksanaan dan pelaksanaan pada delegasi akan diberikan beberapa situasi yang memungkinkan.
4.2 Tipe-tipe Kepemimpinan
Tipe kepemimpinan seorang wirausaha tercermin dari penampilan sampai dengan realisasi ide/gagasan. Tipe kepemimpinan pada umumnya dipengaruhi oleh bakat dan pembawaan seseorang serta lingkungannya, yang terbagi menjadi:
a.Tipe Otokratis
Tipe otokratis adalah seorang pemimpin yang: (1) menganggap organisasi sebagai milik pribadi, (2) mengidentifikasikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi, (3) menganggap bawahan sebagai alat semata-mata, (4) tak mau menerima kritik, saran da pendapat, (5) tergantung pada kekuasaan formal, dan (6) menggerakkan bawahan dengan paksaan.
b.Tipe Militeristik
Tipe militeristik adalah seorang pemimpin yang: (1) menuntut disiplin yang tinggi dan baku dari bawahan, (2) senang pada formalitas, dan (3) sistem perintah untuk menggerakkan bawahan.
c.Tipe Paternalistik
Tipe paternalistik yaitu seorang pemimpin yang: (1) menganggap bawahan belum dewasa, (2) sering bersikap mahatahu, dan (3) jarang memberi kesempatan pada bawahan untuk mengambil keputusan dan inisiatif maupun mengembangkan kreatifitas.
d.Tipe Demokratis
Tipe demokratis adalah seorang pemimpin yang: (1) ada kebebasan tanpa pengendalian, (2) pimpinan tidak mengendalikan bawahan sepenuhnya, (3) segala sesuatu dipercayakan pada bawahan, dan (4) pimpinan kurang bertanggungjawab pada kelompoknya.
e.Tipe Liberalistik
Tipe liberalistik adalah pimpinan yang: (1) ada kebebasan tanpa pengendalian, (2) pimpinan tidak mengendalikan bawahan sepenuhnya, (3) segala sesuatu dipercayakan pada bawahan, dan (4) pimpinan kurang bertanggungjawab pada kelompoknya.
4.3 Ajaran Kepemimpinan Menjadi Landasan wirausaha
Ajaran kepemimpinan seorang wirausaha, sebagai berikut:
a.Ajaran kepemimpinan Hasta Brata (Makutoromo)
b.Ajaran kepemimpinan Pancasila
c.Ajaran kepemimpinan Ronggowarsito
d.Ajaran kepemimpinan Ki Hajar Dewantoro
5.Sumber Belajar:Tarmudji,Tarsis.1996.Prinsip-prinsip Wirausaha.Yogyakarta: Liberty
6.Metode Pembelajaran : ceramah dan diskusi
7.Evaluasi :
a.Bagaimanakah tanggungjawab seorang wirausaha?
b.Jelaskan tipe-tipe kepemimpinan yang dimiliki wirausaha?
c.Mengapa ajaran kepemimpinan menjadi landasan wirausaha?
PERTEMUAN V
TES MID SEMESTER
1.Apa yang dimaksud dengan wirausaha?
2.Apa sajakah yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha?
3.Tahapan apa sajakah yang harus dilalui oleh seorang wirausaha ?
4.Apakah peranan wirausaha?
5.Sebutkan dan Jelaskan enam belas prinsip bisnis!
6.Sebutkan dan jelaskan prinsip-prinsip wirausaha !
7.Bagaimanakah karakter seorang wirausaha?
8.Jelaskan apa yang dimaksud dengan wirausaha bertindak berdasarkan intuisi dan
analisis !
9.Jelaskan apa yang dimaksud dengan wirausaha tampil sebagai pembaharu
10.Masalah membawa berkah, mengapa demikian? Jelaskan!
11.Dalam wirausaha, peluang dapat diciptakan. Bagaimanakah caranya menciptakan
peluang dalam usaha?
12.Bagaimana cara seorang pengusaha agar mempunyai pelanggan seumur hidup?
13.Bagaimana caranya agar tetap menjadi wirausaha yang sukses?
14.Bagaimanakah tanggungjawab seorang wirausaha?
15.Jelaskan tipe-tipe kepemimpinan yang dimiliki wirausaha?
16.Mengapa ajaran kepemimpinan menjadi landasan wirausaha?
PERTEMUAN VI
1.Pokok Bahasan : Kemitraan Dalam Bisnis
2.Sub. Pokok Bahasan:
- Lima Jenis Kelompok Bisnis
- Hidup dan Bekerja Bersama
- Mengurangi Kesenjangan Industri
3. Tujuan Pembelajaran Khusus : Mahasiswa mampu memahmi kemitraan dalam bisnis.
4. Materi
4.1 Lima Jenis Kelompok Bisnis
Yuri Sato, staf peneliti Institut Pengembangan Ekonomi Tokyo, menggolongkan kelompok bisnis di indonesia ke dalam lima jenis, yaitu:
a.Comprehensive businnes group
Diversifikasi usahanya sangat luas, meliputi sektor keuangan, industri, perdagangan. Contoh: BCA.
b.Financial business group
Berangkat dari sektor keuangan, lalu melakukan diversivikasi ke sektor-sektor lain. Contoh: Lippo, Panin.
c.Multi-industrial business group
Bertumpu pada sektor manufakturing dengan rupa-rupa industri, tetapi lemah di sektor keuangan. Ada yang berdiversifikasi dalam sektor non industri, misal: Astra, Kedaung. Ada yang berdiversifikasi dalam sektor non industri.
d.Non industrial business group
Didasarkan atas sektor non industri seperti pengangkutan, konstruksi, real estate, perdagangan eceran, percetakan, jasa-jasa lain dan diversifikasi ke sektor-sektor lain.
4.2 Hidup dan Bekerja Bersama
Kegiatan industri akan berarti bila dapat dukungan dari masyarakat dan produk tersebut dibutuhkan oleh masyarakat. Kelompok wirausaha berperan penting dalam kerangka perkembangan kondisi sosial ekonomi yang lebih baik untuk masa yang akan datang. Maka diperlukan adanya berbagai standarisasi yang dapat membantu aktivitas usaha agar berkembang dengan ukuran yang seobyektif mungkin.
4.3 Mengurangi Kesenjangan Industri
Kesenjangan industri, bukan kondisi yang diinginkan oleh semua pihak, namun kenyataan itu selalu terjadi akibat berbagai kondisi dan kepentingan mekanisme pasar, sehingga mewarnai struktur ekonomi yang ada. Pergeseran struktur ekonomi yang ada di Indonesia akhir-akhir ini justru sangat diwarnai oleh meningkatnya peranan sektor industri, walaupun sektor-sektor lain juga mengalami pertumbuhan namun cenderung lambat.
Keterbelakangan industri kecil pada umumnya dapat dikenali dengan mudah karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.Kegiatannya cenderung tidak formal dan jarang memiliki perencanaan usaha.
b.Tenaga kerja terbatas kemampuannya
c.Sistem akuntasi kurang baik, kadang-kadang tidak memiliki sama sekali.
d.Kemampuan pemasaran yang sangat terbatas.
e.Marjin keuntungan sangat tipis, karena skala ekonomi terlalu kecil sehingga
sukar menekan biaya.
5.Sumber Belajar: Tarmudji,Tarsis.1996.Prinsip-prinsip Wirausaha.Yogyakarta: Liberty
6.Metode Pembelajaran : ceramah dan diskusi
7.Evaluasi :
a. Sebutkan dan jelaskan lima jenis kelompok bisnis !
b. Bagaimanakah cara mengatasi kesenjangan industri?
c. Sebutkan dan jelaskan apa saja penyebab, keterbelakangan industri kecil!
PERTEMUAN VII
1.Pokok Bahasan : Bisnis yang Bermoral
2.Sub. Pokok Bahasan :
- Membangun Kepercayaan
- Antara Hukum dan Mekanisme Pasar
- Menghormati Martabat Manusia
3.Tujuan Pembelajaran Khusus: Mahasiswa mampu memahami bisnis yang bermoral
4. Materi
4.1 Membangun Kepercayaan Masyarakat
Dalam ekonomi ada tiga pertanyaan yang mendasar yaitu: what, how, dan for whom. What, apa yang akan diproduksi, pasar yang menentukan. How, bagaimana memproduksi barang tersebut, hal itu berhubungan dengan skala teknologi, padat karya atau padat modal. For whom, untuk siapa dijual, juga pasar yang menentukan. Nilai dasar yang dianut oleh masyarakat bisnis adalah kesejahteraan dan penggunaan tenaga kerja yang menghasilkan barang dan jasa yang baik, untuk memenuhi kebutuhan konsumen, tenaga kerja dan pemilik usaha dengan jalan membagi kesejahteraan yang diperolehnya dari proses pemenuhan kebutuhan konsumen, yang dilandasi kejujuran dan keterbukaan.
Kepercayaan masyarakat sangat diperlukan bila setiap usaha menginginkan kelestariannya dan kelestarian merupakan landasan untuk mengembangkan usaha yang lebih berdaya guna. Wirausahawan diisyaratkan untuk membangun kepercayaan masyarakat dengan menggunakan cara pemakaian sumber daya secara hati-hati, terencana, dan efektif, menerapkan persaingan bebas dan terbuka, mengembangkan teknologi produksi, pemasaran dan komunikasi yang lebih baik.
4.2 Antara Hukum dan Mekanisme Pasar
Dalam rangka menghindari fiksi perdagangan, menciptakan perdagangan yang lebih bebas, menciptakan persaingan yang sehat dan memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak, maka wirausaha diminta untk memperhatikan berbagai aturan yang berlaku, lebih jauh lagi ditekankan bahwa setiap bentuk perilaku yang tidak wajar, selain konsekuensi hukum, akan membawa berbagai konsekuensi baik maupun buruk. Dengan demikian, diperlukan kesungguhan untuk memahami mekanisme pasar seutuhnya, kemudian menata dengan aturan main yang sesuai dengan perkembangan perdagangan modern, sehingga dunia usaha harus dapat mendukung apa yang dimaksud sebagai perdagangan bebas dunia, yang diterapkan oleh World Trade Organization (WTO).
4.3 Menghormati Martabat Manusia
Tanggungjawab yang terkandung dalam kebijakan dan tindakan wirausaha antara lain adalah penghormatan terhadap martabat manusia, termasuk komitmen untuk membagi kesejahteraan bersama secara proporsional merupakan nilai moral dasar yang harus diakui dalam komunitas umat manusia. Berdasarkan alasan-alasan tersebut dan karena aktifitas usaha merupakan alat yang memiliki kekuatan perubahan sosial, maka diperlukan sikap orang yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan yang membawa keberhasilan bersama. Para wirausahawan juga harus memperhatikan isu-isu penting seperti hak asasi manusia, pendidikan kesejahteraan dan optimalisasi kegiatan produksi yang dilaksanakan. Selain itu, diisyaratkan juga untuk membangun kesejahteraan ekonomi dunia, selain kesejahteraan sosial ekonomi negara yang bersangkutan. Hal tersebut dapat menggunakan cara pemakaian sumber daya yang hati-hati, pengembangan inovasi terhadap produksi, pemasaran dan komunikasi yang lebih baik.
5.Sumber Belajar: Tarmudji, Tarsis.1996.Prinsip-prinsip Wirausaha.Yogyakarta: Liberty
6.Metode Pembelajaran ;ceramah dan diskusi
7.Evaluasi
a. Bagaimanakah membentuk bisnis yang bermoral? Jelaskan!
PERTEMUAN VIII - X
1.Pokok Bahasan ; Resep Berwirausaha
2.Sub. Pokok Bahasan:
- Resep Mendapatkan Bisnis
- Resep Membuka usaha baru
- Resep Memilih Bisnis Waralaba
- Resep Memilih MLM
- Resep Mengembangkan Bisnis MLM
- Resep Mengelola Usaha Balita
- Resep Sukses Agen Asuransi
- Resep Menyulap Pelanggan
- Resep Membangun Website Bisnis
3.Tujuan Pembelajaran Khusus: Mahasiswa mampu memahami resep berwirausaha
4. Materi
4.1 Resep Mendapatkan Bisnis Sampingan
Ada 15 cara untuk mendapatkan bisnis sampingan, yaitu: (1) Modal Penampilan, (2) Manfaatkan Bakat, (3) Bisniskan Hobi, (4) Standar kualitas, (5) Standar Tarif, (6) Semua Profesi Berpotensi, (7) Promosikan Langsung, (8) Kartu nama Bisnis, (9) Mintalah referensi, (10) Menu Bicara, (11) Problem Solver, (12) Pialang, (13) Kolektor Kartu Nama, (14) Mendatangi Pameran, dan (15) Lakukan Sekarang Juga.
4.2 Resep Membuka Usaha Baru
Ada 15 cara untuk membuka usaha baru, yaitu: (1) melayani kebutuhan, (2) menjual eceran, (3) menjual penemuan, (4) duplikasi usaha, (5) jual keterampilan, (6) usaha pelatihan, (7) usaha keagenan, (8) barang koleksi, (9) buka kantor usaha, (10) bisnis DS/MLM, (11) beli waralaba, (12) beli usaha prospektif, (13) beli usaha sekarat, (14) buka lokasi, dan (15) usaha bersama.
4.3 Resep Memilih Bisnis Waralaba
Ada 10 resep dalam memilih usaha, yaitu: (1) mengenali kekuatan, (2) analisis tren pasar, (3) prospek dan penerimaan, (4) meneliti proposal, (5) proyeksi keuntungan, (6) tenaga kerja, (7) keuangan dan dukungan, (8) lokasi, (9) popularitas, dan (10) kunjungi kantor.
4.4 Resep Memilih MLM
Ada 12 resep memilih MLM, yaitu: (1) memiliki IUPB, (2) anggota APLI, (3) meneliti perusahaan, (4) mendatangi seminar, (5) marketing plan, (6) memilih produk, (7) harga produk, (8) jaminan kepuasan, (9) pelatihan, (10) memilih Upline, (11) jenjang karier, dan (12) recognition.
4.5 Resep Mengembangkan Bisnis MLM
Ada 19 cara untuk mengembangkan bisnis MLM, yaitu: (1) katalog dan produk, (2) alih konsumsi, (3) orang terdekat, (4) tanpa beban, (5) Saya dari..., (6) membantu prospek, (7) kenalan baru, (8) alat bantu, (9) tempat strategis, (10) hari istimewa, (11) manfaatkan internet, (12) buku catatan, (13) aktif, (14) duplikasi keberhasilan, (15) melahirkan leader, (16) konsistensi dan daya tahan, (17) fokus, (18) banyak belajar, dan (19) keyakinan.
4.6 Resep Mengelola Usaha Balita
15 resep mengelola usaha balita, yaitu:, (1) rencana bisnis, (2) mencari modal, (3) amankan modal, (4) potong biaya, (5) tunai, (6) kepuasan pelanggan, (7) koneksi, (8) iklan dan promosi, (9) ekspo bisnis, (10) jadilah PR, (11) Website bisnis, (12) bentuklah sistem, (13) fleksibel, (14) miliki modal bisnis, dan (15) antisipasi resiko.
4.7 Resep Sukses Agen Asuransi
Ada 15 resep sukses agen asuransi, yaitu (1) tidak memiliki takut, (2) kesan menawan, (3) keakraban, (4) humor, (5) data pribadi, (6) tepat waktu, (7) tidak wajib beli, (8) prsentasi sederhana, (9) siap solusi, (10) tempat bertemu, (11) percaya diri, (12) servis terbaik, (13) purna jual, (14) keluarga, dan (15) tanggungjawab.
4.8 Resep Menyulap Pelanggan Menjadi Agen Penjualan
Ada 10 resep menulap pelanggan menjadi agen penjualan, yaitu: (1) excellent produk, (2) miliki merk, (3) komisi order, (4) diskon dan voucer, (5) hadiah produk, (6) suvenir khusus, (7) Alat pemesanan, (8) biaya promosi, (9) excellent service, dan (10) sistem sederhana.
4.9 Resep Membangun Website Bisnis
Ada 19 resep membangun website bisnis, yaitu: (1) menentukan anggaran, (2) tambahkan isi dan fasilitas, (3) sistem pembayaran online, (4) privacy policy, (5) approval, (6) promosi URL, (7) terdaftar di mesin pencari, (8) barter link, (9) barter barnner, (10) program afiliasi, (11) mengikat pengunjung, (12) newsletter, (13) tanggap pada konsumen, (14) analisis aktivitas, (15) membangun komunitas, (16) membership, (17) media interaktif, (18) mengglobal, dan (19) aspek legal.
5.Sumber Belajar:Zaques, Edy.2004.Resep Cespleng Ber-wirausaha: 130 Kiat Jitu Melipatgandakan Penghasilan Dengan Modal Seadanya.Yogyakarta: Gradien Books.
6.Metode Pembelajaran ; diskusi dan ceramah
7.Evaluasi
a.Sebutkan resep mendapatkan bisnis!
b.Sebutkan resep membuka usaha baru!
c.Sebutkan resep memilih bisnis waralaba!
d.Sebutkan resep memilih MLM !
e.Sebutkan resep mengembangkan bisnis MLM!
g.Sebutkan resep mengelola usaha balita!
h.Sebutkan resep sukses agen asuransi !
i.Sebutkan resep menyulap pelanggan menjadi agen penjualan!
j.Sebutkan resep membangun Website bisnis!
PERTEMUAN XI
1.Pokok Bahasan : Wirausaha baru
2.Sub. Pokok Bahasan : Cara membuka usaha baru
3.Tujuan Pembelajaran Khusus: Mahasiswa mampu memahami cara-cara membuka usaha baru
4.Materi ; berdasarkan materi lapangan
5.Sumber Belajar : wirausaha yang sudah berjalan
6.Metode Pembelajaran : diskusi dan demonstrasi
PERTEMUAN XII
1.Pokok Bahasan : Bisniss Plan
2.Sub. Pokok Bahasan : Rencana membuka usaha baru
3.Tujuan Pembelajaran Khusus : Mahasiswa mampu merencanakan dan mempraktekan usaha baru di lingkungan kampus.
4.Materi : membuat rencana usaha berdasarkan dari hasil pengamatan lapangan
5.Sumber Belajar : wirausaha yang sudah berjalan
6.Metode Pembelajaran : demonstrasi
PERTEMUAN XIII
TES SEMESTER