Selasa, 16 Juni 2009

. Selasa, 16 Juni 2009

IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DALAM PENDIDIKAN SENI BUDAYA
KAJIAN SMP KOTA SEMARANG



Eny Kusumastuti


ABSTRAK


Mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya merupakan pendidikan yang berbasis budaya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah : (1) kebijakan Kepala Sekolah Menengah Pertama terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (2) pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya, (3) faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, studi dokumen, wawancara mendalam, dan observasi. Analisis data dilakukan dengan proses reduksi data, penyajian data, dan verifikasi/penarikan kesimpulan. Langkah terakhir dari analisis data dalam penelitian ini adalah verifikasi atau pemeriksaan keabsahan data, yaitu dependabilitas dan konfirmabilitas. Hasil penelitian meliputi : (1) kebijakan Kepala Sekolah berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, antara lain yaitu : (a) pengadaan workshop di sekolah dengan mengundang pakar di bidangnya, (b) membuat perangkat pembelajaran bersama-sama di sekolah dengan dipandu tutor, (c) diadakannya Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di sekolah, (d) melakukan studi banding ke sekolah lain, (e) membuat media pelajaran sendiri dalam bentuk VCD dengan mendatangkan tutor, (f) kursus wajib bagi guru dibidang komputer dan bahasa inggris dengan biaya dari sekolah. (2) Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, mata pelajaran Seni Budaya meliputi : guru, siswa, materi, kegiatan belajar mengajar, metode, sumber belajar dan evaluasi.(3) Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya adalah : (a) waktu yang tersedia tidak mencukupi, (b) kurang tersedianya sarana prasarana, (c) materi pelajaran Seni Budaya tidak termasuk dalam materi pelajaran yang diujikan secara nasional, (d) masih terbatasnya kemampuan guru dalam memahami dan menguasai materi pelajaran Seni Budaya, (e) kurangnya dukungan dari orang tua siswa terhadap pelajaran Seni dan Budaya.

Kata Kunci : KTSP, mata pelajaran Seni Budaya,


PENDAHULUAN
Tahun ajaran 2006/2007 Depdiknas mengeluarkan 3 Peraturan Menteri, yaitu Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006, yang mengatur pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau yang sekarang dikenal dengan sebutan KTSP. Muatan Seni Budaya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tidak hanya terdapat dalam satu mata pelajaran karena budaya itu sendiri meliputi segala aspek kehidupan. Dalam mata pelajaran Seni Budaya, aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri tetapi terintegrasi dengan seni. Karena itu, mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya merupakan pendidikan yang berbasis budaya.
Sesuai dengan Undang-Undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, setiap daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan kondisi daerah tersebut, demikian pula dalam penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Sekolah diberikan kebebasan untuk menterjemahkan dan mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sesuai dengan kondisi sekolah tersebut. Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan modifikasi dan mengembangkan variasi-variasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan keadaan, potensi, dan kebutuhan daerah serta kondisi siswa. Pelaksanaan selanjutnya diserahkan pada guru bidang studi untuk mengembangkan kurikulum tersebut dengan standar yang lebih tinggi. Banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh sekolah untuk mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Permasalahan dalam penelitian ini, adalah kebijakan Kepala Sekolah Menengah Pertama terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Buday, faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya.


KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada dasarnya berupaya untuk memfokuskan pada kelompok-kelompok mata pelajaran dan kompetensi tertentu kepada peserta didik. Menurut Gordon (dalam Munib 2006: 14) aspek-aspek yang terkandung dalam kompetensi adalah sebagai berikut : (1) Pengetahuan (knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif; (2) Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh individu; (3) Kemampuan (skill), adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya; (4) Nilai (value), adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang; (5) Sikap (attitude), suatu perasaan atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar; dan (6) Minat (interest), adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan.

Mengacu pada pengertian kompetensi sebagaimana yang dikemukakan oleh Gordon tersebut, maka kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang memfokuskan pada struktur pengembangan kemampuan melaksanakan kompetensi-kompetensi sesuai cakupan kelompok mata pelajaran dan standar kinerja tertentu, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh peserta didik berupa profesionalitas sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Sementara itu, Pratt (1980: 4) menyatakan bahwa kurikulum adalah sebuah sistem yang memiliki komponen-komponen yang saling mendukung dan membentuk satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh Winarno Surakhmad (1977: 9) komponen-komponen tersebut mencakup : tujuan, isi, organisasi dan strategi.

Sehubungan dengan hal di atas, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memicu terhadap kebebasan dalam merancang struktur serta pemerolehan sejumlah kompetensi tertentu bagi peserta didik yang dapat diamati dalam bentuk perilaku dan keterampilannya sebagai kriteria keberhasilan dan didukung oleh komponen-komponen terkait.
Kompetensi yang ingin dicapai merupakan tujuan (gol stetemen) yang hendak diperoleh peserta didik, menggambarkan hasil belajar (learning autcomes) pada aspek pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Untuk mencapai kompetensi tersebut, strategi yang dilakukan adalah membantu peserta didik dalam menguasai kompetensi yang ditetapkan melalui kegiatan membaca, menulis, mendengarkan, berkreasi serta mengobservasi hingga mencapai kompetensi yang diharapkan yang tentunya sesuai dengan cakupan kelompok mata pelajaran.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sesungguhnya hanya merupakan subsistem dari sistem pendidikan. Sehubungan dengan hal ini, Sudarwan Danim (2002: 17) menyatakan bahwa keberhasilan institusi pendidikan dalam mengemban misinya sangat ditentukan oleh mutu keinterelasian unsur-unsur sistemik yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas proses transformasi dan mutu kerja institusi pendidikan, seperti tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, biaya, anak didik, masyrakat, dan lingkungan pendukungnya. Dari sekian banyak subsistem yang memberikan kontribusi terhadap kulitas proses dan keluaran pendidikan dalam makna educational outcomes, subsistem tenaga kependidikan telah memainkan peranan yang paling esensial.

PENDIDIKAN SENI BUDAYA
Pendidikan Seni Budaya yang terdapat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan diberikan di sekolah karena keunikan perannya yang tidak mampu diemban oleh mata pelajaran lain. Keunikan tersebut terletak pada pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi dan berapresiasi melalui pendekatan : belajar dengan seni, belajar melalui seni, dan belajar tentang seni (Salam 2001: 1). Karena keunikannya tersebut, pendidikan Seni Budaya memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai multikecerdasan yang terdiri atas kecerdasan interpersonal (interaksi dengan orang lain), interpersonal (kecerdasan pribadi), musikal (rasa seni), linguistik (bahasa), logik matematika (berpikir secara runtut), naturalis (alami) serta kecerdasan adversitas (menunjukkan kemampuan diri), kreativitas, spiritual dan moral.

Selain mempunyai keunikan, pendidikan Seni Budaya juga memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan multikultural. Multilingual bermakna pengembangan kemampuan mengekspresikan diri secara kreatif dengan menggunakan media bahasa rupa, bunyi, gerak, peran dan berbagai perpaduannya. Multidimensional bermakna pengembangan beragam kompetensi meliputi kognitif (pengetahuan , pemahaman, analisis, evaluasi), dan afektif (apresiasi, kreasi dengan cara memadukan secara harmonis unsur estetika, logika, dan etika). Sifat multikultural (beragam unsur budaya) mengandung makna pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya Nusantara dan Mancanegara. Hal ini merupakan wujud pembentukan sikap demokratis yang memungkinkan seseorang hidup secara beradab serta toleran dalam masyarakat dan budaya yang majemuk.

Pendidikan seni memenuhi kebutuhan yang bersifat individual, sosial, dan kultural (Salam 2001: 2). Bersifat individual karena melalui kegiatan berolah cipta seni, dan berapresiasi terhadap nilai keindahan yang merupakan intisari pendidikan seni, anak mendapatkan pengalaman individual yang memungkinkannya untuk berkembang menjadi manusia yang utuh, mandiri, dan bertanggung jawab. Melalui seni, anak akan mendapatkan pengalaman estetis yang berkaitan dengan elemen visual, bunyi atau gerak. Bersifat sosial, karena melalui seni, anak dapat berbagi rasa, keyakinan, dan nilai. Bersifat kultural, karena seni merekam nilai dan keyakinan yang dianut oleh penciptanya. Karya seni yang diciptakan anak, pada dasarnya merupakan cerminan dari nilai budaya yang dianutnya.

Tujuan pendidikan seni yaitu anak diharapkan: 1) memiliki pengetahuan tentang hakekat karya seni dan prosedur penciptaannya, 2) memiliki kepekaan rasa yang memungkinkannya untuk mencerap nilai-nilai keindahan yang ada di sekelilingnya serta membuat penilaian yang sensitif terhadap kualitas artistik suatu karya seni, 3) memiliki keterampilan yang memungkinkannya untuk berekspresi melalui media rupa, bunyi, gerak, atau lakon secara lancar atau menciptakan karya seni untuk kehidupan pribadi dan sosialnya (Salam 2001: 3).

Perspektif pemaknaan seni sebagai media atau alat pendidikan adalah lewat atau melalui kegiatan atau aktivitas berkesenian, diyakini dapat difungsikan sebagai media yang cukup efektif untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan segenap potensi individu secara optimal dalam format kesetimbangan (equilibrium) yang penuh. Disini, yang menjadi orientasi dan stressing point-nya dari pemaknaan aktivitas berkesenian bukan berada pada persoalan produk karya atau hasil, melainkan lebih pada dimensi proses (Goldberg 1997: 17-20). Proses yang terbingkai dalam makna pendidikan seni, yang lebih dikenal dengan sebutan “pengalaman estetik” (aesthetic experience) menurut pendapat dan hasil penelitian para pakar pendidikan (Plato, Herbert Read, Victor Lowenfeld, Malcom Ross, Elizabeth Hurlock, Ki Hadjar Dewantara), ternyata mempunyai korelasi positif terhadap berkembangnya berbagai potensi diri individu, misalnya : imajinasi, intuisi, berpikir, kreativitas, dan juga rasa sensitivitas. Oleh karenanya, berkait kelindan dengan perspektif strategisnya proses pengalaman estetik bagi pertumbuhan dan perkembangan individu yang terformat dalam pendidikan seni tersebut, sejak awal Plato menyarankan “Art Should be Basis of Education”. Thesisnya Plato ini kemudian yang mengilhami Herbert Read untuk mengembangkan kajian secara lebih jauh.

Menurut Gardner (1993: 77-78), selain unsur kemampuan verbal dan matematika-logika, ada unsur-unsur lain yang tidak kalah pentingnya bagi keberhasilan seseorang di masa depannya, yaitu kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intra-personal. De Porter dan Hernacki (1995: 30) menambah satu kecerdasan yang mungkin tertinggi dan merupakan bentuk terbaik dari pikiran yang kreatif, yaitu intuisi. Intuisi adalah kemampuan untuk menerima atau menyadari informasi yang tidak dapat diterima kelima indra kita.
Daniel Goleman (dalam Semiawan 1999) mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dua segi mental, yang satu, yang berasal dari kepala (head) yang cirinya kognitif, dan yang satu yang berasal dari hati sanubarinya (heart), yaitu segi afektifnya. Kehidupan afektif ini sangat mempengaruhi kehidupan kognitif yang dikelola oleh otak, yang memiliki dua belahan (kiri dan kanan) dan disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum. Berpikir holistik, kreatif, intuitif, imajinatif, dan humanistik merupakan tugas serta ciri dan fungsi belahan otak kanan (right hemisphere), dan berpikir kritis, logis, linier, serta mememorisasi terutama terkait dengan respon, ciri, dan fungsi belahan otak kiri (left hemisphere). Oleh karenanya, pengalaman belajar yang menjanjikan adanya kualitas equilibrium pada pengembangan otak secara optimum, baik pada belahan kiri dan kanan akan memberikan kebebasan aktivitas mental (free mental work) pebelajarnya, dan hal ini kiranya merupakan quality assurancy yang perspektifnya sangat strategis bagi keberadaan individu secara holistik dalam kehidupan dan masyarakatnya. Sebaliknya pembelajaran yang hanya dan terutama membebankan berfungsinya belahan otak kiri, terutama dengan mememorisasi fakta atau rumus tertentu, yang menurut hasil penelitian, diantaranya akan mensupress dirinya – sangat mendorong adanya hostile attitude (sikap permusuhan) (Semiawan, 1999). Tindak agresivitas massa dan konflik multidimensional yang menjadi salah satu beban terberat bangsa akhir-akhir ini, adalah salah satu kemungkinan akibat dari kehidupan yang tidak sehat dan terkait erat dengan cara pembelajaran yang salah, sebagaimana diisyaratkan oleh penelitian tersebut.

Namun, jauh sebelum Goleman melakukan penelitiannya itu, Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara bahkan sudah sejak lama menjadikan unsur rasa sebagai poros trilogi pendidikan dalam bentangan pikir (cipta) – rasa – karsa. Ki Hadjar Dewantara secara intens menekankan pentingnya olah rasa disamping olah pikir dan olah raga. Melalui olah rasa inilah akan memekarkan sensitivitas hingga terbentuk manusia-manusia yang berwatak mulia, seperti : terintegrasinya antara pikir, kata, dan laku, sikap jujur, rendah hati, disiplin, setia, menahan diri, bertenggang rasa, penuh perhatian, belas kasih, berani, adil, terbuka, dan sebagainya. Oleh karenanya proses internalisasi atau pengakaran, pengasahan dan pemekaran rasa seyogyanya menjadi concern sejak pendidikan di tingkat dini.

Ketika pendidikan moral dan nilai-nilai yang tersaji dalam format pendidikan agama baik formal maupun informal, ternyata dalam ekspresinya berkecenderungan lebih mengedepankan pengasahan aspek kognitif dan bukannya penajaman dan penghayatan pada dimensi religiousitas, maka sesungguhnya nilai-nilai yang termuat dalam pendidikan yang berbasiskan seni dan sastra merupakan salah satu alternatif oasis. Sayangnya selama ini tidak pernah mendapatkan perhatian yang besar dalam sistem pendidikan formal, karena para decission maker pendidikan sampai saat ini begitu gandrung dengan ranah pendidikan yang berbasiskan kemampuan intelektual semata sebagaimana dimaksud diatas.

Masalah pendidikan seni dipandang sebagai masalah yang relatif tidak penting. Satu segmentasi di ranah pendidikan yang selalu dianggap sebagai suatu non-issue, suatu hal yang amat remeh maknanya. Padahal sudah teramat banyak penajaman para pakar yang mencoba mengartikulasikan perihal pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam segmentasi pendidikan seni tersebut bagi kehidupan secara totalitas.
Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, bingkai pendidikan seni yang berbasis pada pengakaran poros rasa estetis, sekali-kali tidak bermaknakan agar anak didiknya nanti menjadi seniman atau seorang ahli seni. Namun tujuan esensial kulturalnya adalah “dengan pendidikan menghaluskan perasaan, anak-anak kita hendaknya mendapatkan kecerdasan yang luas dan sempurna dari rohnya, jiwanya, budinya, hingga mereka hendaknyalah mendapatkan tingkatan yang luhur sebagai manusia (mempertinggi niveau human)”, begitu tulisnya dalam pidato radio Hubungan Pendidikan dan Kultur di RRI Yogyakarta, 14 Januari 1940 (Sumarta, 2000 dalam Sindhunata 2001: 182).

Penajaman pada dimensi operasional perihal efektivitas pendidikan yang berporoskan pengakaran dan pemekaran rasa ini, kiranya sudah banyak hasil riset komprehensif yang mampu memverifikasikannya. Dalam bidang seni musik misalnya, hasil riset yang ada, ternyata musik-musik yang sejenis klasik seperti karya Wolfgang Amadeus “Mozart” (1756-1791), jika diperdengarkan secara intensif kepada ibu yang sedang mengandung janinnya, mampu mempengaruhi pembentukan kejiwaan sang anak nantinya.
Pendidikan seni yang pada hakekatnya merupakan pembelajaran yang menekankan pada pemberian pengalaman apresiasi estetik, disamping mampu memberikan dorongan ber-“ekstasi” lewat seni, juga memberi alternatif pengembangan potensi psikhis diri serta dapat berperan sebagai katarsis jiwa yang membebaskan.

Ross mengungkapkan bahwa kurikulum pendidikan seni termasuk kurikulum humanistic yang mengutamakan pembinaan kemanusiaan, bukan kurikulum sosial yang mengutamakan hasil praktis (Ross, 1983). Sedangkan menurut Read (1970) pendidikan seni lebih berdimensikan sebagai “media pendidikan” yang memberikan serangkaian pengalaman estetik yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan jiwa individu. Sebab melalui pendidikan ini akan diperoleh internalisasi pengalaman estetik yang berfungsi melatih kepekaan rasa yang tinggi. Dengan kepekaan rasa yang tinggi inilah nantinya mental anak mudah untuk diisi dengan nilai-nilai religiousitas, budi pekerti atau jenis yang lain. Istilah lain dari konsep “kearifan”. Definisi dan pemaknaan “kearifan” diperlukan syarat-syarat : pengetahuan yang luas (to be learned), kecerdikan (smartness), akal sehat (common sense), tilikan (insight), yaitu mengenali inti dari hal-hal yang diketahui, sikap hati-hati (prodence, discrete), pemahaman terhadap norma-norma dan kebenaran, dan kemampuan mencernakan (to digest) pengalaman hidup (Buchori 2000 dalam Sindhunata 2001: 25). Semua nilai-nilai itu terkandung dengan sarat dalam dimensi pendidikan seni, karena berorientasi pada penekanan proses pengalaman olah rasa dan estetis.

METODE
Sasaran penelitian adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Oleh karena itu, pendekatan yang dipandang cocok untuk digunakan adalah pendekatan pembelajaran (pedagogis) dengan metode etnografi ruang kelas. Fokus penelitian adalah kebijakan Kepala Sekolah Menengah Pertama terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pendidikan seni budaya, faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran seni budaya. Lokasi penelitian adalah Sekolah Menengah Pertama kota Semarang, dengan obyek penelitian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan proses belajar mengajar pendidikan seni budaya di Sekolah Menengah Pertama. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, studi dokumen, wawancara mendalam, dan observasi. Bersamaan dengan proses pengumpulan data, dilakukan juga tahapan analisis data yang berlangsung selama proses penelitian ditempuh melalui tiga jalur kegiatan sebagai suatu sistem, yaitu (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) verifikasi/penarikan kesimpulan (Milles dan Huberman 1992).
Langkah terakhir dari analisis data dalam penelitian ini adalah verifikasi atau pemeriksaan keabsahan data. Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini memakai dependabilitas dan konfirmabilitas (Lincoln dan Guba dalam Jazuli, 2001 : 34). Data yang didapat dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi selanjutnya ditafsirkan hingga penarikan kesimpulan lewat pembimbing dalam proses penelitian, dan melakukan pengecekan serta pengkajian silang dengan pakar atau teman sejawat. Disamping itu, juga menggunakan member checking, yakni meminta pengecekan dari informan, pemain dan penonton.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebijakan Kepala Sekolah Menengah Pertama terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di sekolah tidak terlepas dari kebijakan Kepala Sekolah masing-masing. Setiap Kepala Sekolah akan melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan berdasarkan kondisi sekolah tersebut. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam bidang mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan. Pelaksanaannya tidak terlepas dari kondisi sekolah masing-masing, diantaranya yaitu ketersediaan guru yang sesuai dengan bidangnya, dan sarana-prasarana yang ada. Upaya Kepala Sekolah dalam mendukung pelaksanaan mata pelajaran Seni Budaya antara lain adalah dengan menyediakan peralatan musik, perlengkapan tari, aula tempat belajar tari, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengikuti lomba-lomba di bidang seni.

Selain itu, Kepala Sekolah juga mempunyai kebijakan-kebijakan tertentu berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, antara lain yaitu: (1) guru diikutkan workshop di sekolah dengan mengundang pakar di bidangnya, (2) membuat perangkat pembelajaran bersama-sama di sekolah dengan dipandu tutor, (3) diadakannya Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di sekolah, (4) melakukan studi banding ke sekolah lain untuk perbaikan proses belajar mengajar, (5) membuat media pelajaran sendiri dalam bentuk VCD dengan mendatangkan tutor, (6) kursus wajib bagi guru dibidang komputer dan bahasa inggris dengan biaya dari sekolah.

Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya
Dalam proses pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, terlebih dahulu guru harus mampu menjabarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam mata pelajaran Seni Budaya dalam materi belajar satu semesteran. Dalam satu semester, guru menentukan berapa hari efektif, dan dari minggu efektif ini kemudian dijadikan berapa jumlah jam, yang akhirnya diketemukan dalam harian. Sedang setiap hari jam pelajaran 45 menit. Tujuan pembelajaran yang direncanakan harus sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu memperhatikan Standar Proses dan Standar Penilaian. Selanjutnya guru menentukan langkah-langkah pembelajaran yang dituangkan dalam bentuk kegiatan belajar mengajar. Proses belajar mengajar mata pelajaran Seni Budaya meliputi : guru, siswa, materi, kegiatan belajar mengajar, metode, sumber belajar dan evaluasi.


Guru
Guru adalah seseorang yang harus memiliki wawasan kependidikan guru yaitu wawasan yang memandang hakikat manusia sebagai guru, sebagai siswa dan hakikat belajar mengajar. Seorang guru harus memiliki 3 kompetensi yaitu kompetensi profesional, kompetensi sosial dan kompetensi pribadi. Kompetensi profesional yang dimaksud meliputi:(1) menguasai bahan, (2) mengelola program belajar mengajar, (3) mengelola kelas, (4) penggunaan media/sumber, (5) menguasai landasan kependidikan, (6) mengelola interaksi belajar-mengajar, (7) menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, (8) mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah, (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, (10) memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan kembali penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.

Kompetensi sosial atau kompetensi kemasyarakatan adalah kemampuan guru dalam ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Sedangkan kompetensi pribadi berkaitan dengan nilai pribadi guru sebagai individu, yaitu hendaknya memiliki sikap terbuka, toleran, obyektif, jujur, wajar, demokratis, komunikasi hangat, kasih sayang, tanggung jawab, adil, integritas, mampu menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, serta mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Menurut Sri Handayani (wawancara 20 September 2008), persiapan yang harus dilakukan guru untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar adalah : (1) perubahan pola pikir untuk menempatan siswa sebagai pembangun gagasan, (2) perubahan pola tindakan dalam menetapkan peran siswa, peran guru dan gaya mengajar, (3) sikap berani melakukan inovasi pendidikan dan meyakinkan masyarakat dalam penerapannya, (4) sikap kritis dan berani menolak kehendak yang kurang edukatif, (5) sikap kreatif dalam menghasilkan karya pendidikan, (6) selalu membuat rencana pelaksanaan pengajaran secara kongkrit dan terperinci.

Selanjutnya Sri Handayani (wawancara 20 September 2008) mengatakan, bahwa guru berperan sebagai informator (memberikan informasi tentang pengetahuan seni secara luas), fasilitator (memberikan fasilitas atau sumber belajar bagi siswa sehingga kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan baik), dan motivator (memberikan semangat atau dorongan kepada siswa sehingga dapat belajar dengan efektif).

Dalam kegiatan belajar mengajar materi pelajaran Seni Budaya berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, guru harus memiliki 8 keterampilan mengajar yaitu (1) keterampilan bertanya, (2) keterampilan memberikan penguatan, (3) keterampilan mengadakan variasi, (4) keterampilan menjelaskan, (5) keterampilan membuka dan menutup pelajaran, (6) keterampilan memimpin diskusi kelompok kecil, (7) keterampilan mengelola kelas, (8) keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan.

Siswa
Siswa adalah unsur dasar interaksi belajar mengajar yang melaksanakan aktivitas belajar Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan mata pelajaran Seni Budaya, siswa dituntut untuk mampu menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar, yaitu mampu mengapresiasi dan mengekspresikan sebuah karya seni daerah setempat, nusantara dan manca negara.

Materi Pelajaran Seni Budaya
Materi pelajaran Seni Budaya berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan terbagi dalam 4 bidang seni yaitu seni rupa, seni musik, seni tari dan seni teater yang tersebar ke dalam 6 semester mulai dari kelas VII sampai dengan kelas IX. Materi pelajaran Seni Rupa Kelas VII semester 1 dan 2, adalah karya seni rupa terapan daerah setempat, kelas VIII semester 1 dan 2 adalah seni rupa terapan Nusantara, kelas IX semester 1 dan 2 adalah seni rupa murni yang diciptakan di daerah setempat. Mata pelajaran Seni Musik kelas VII semester 1 dan 2 adalah lagu daerah setempat dan ragam musik daerah setempat, kelas VIII semester 1 dan 2 adalah lagu Nusantara dan karya musik tradisional Nusantara, kelas IX semester 1 dan 2 adalah lagu mancanegara di Asia dan luar Asia. Mata pelajaran Seni Tari kelas VII semester 1 dan 2 adalah karya seni tari tunggal, berpasangan dan kelompok daerah setempat, kelas VIII semester 1 dan 2 adalah karya seni tari tunggal, berpasangan dan berkelompok Nusantara, kelas IX semester 1 dan 2 adalah karya seni tari mancanegara di Asia dan luar Asia. Mata pelajaran seni teater kelas VII semester 1 dan 2 adalah karya seni teater daerah setempat, kelas VIII semester 1 dan 2 adalah karya seni teater Nusantara, kelas IX semester 1 dan 2 adalah karya seni teater tradisional dan modern mancanegara di Asia dan luar Asia.

Kegiatan Belajar Mengajar
Kegiatan belajar mengajar mata pelajaran Seni Budaya berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan mempunyai tiga tahapan pokok, yaitu pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Pendahuluan adalah kegiatan membuka pelajaran yang berisi apersepsi (sebuah kegiatan yang bertujuan untuk mengkondisikan siswa agar siap menerima pelajaran) dan pree test (kegiatan evaluasi materi yang sudah diberikan pada pertemuan terdahulu). Kegiatan inti adalah kegiatan menjelaskan materi pelajaran. Kegiatan penutup adalah kegiatan menutup pelajaran yang berisi rangkuman materi pelajaran yang sudah diterangkan dan memberikan evaluasi.

Metode Pengajaran
Metode yang digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar, adalah :
a.Metode Ceramah digunakan untuk menyampaikan materi teori yang harus dimengerti dan
dikuasai oleh siswa sebelummelakukan kegiatan praktik.
b.Metode Demonstrasi digunakan untuk memberikan contoh sebelum melakukan praktik
yaitu tentang ragam gerak dan teknik menari, sedang siswa menirukan materi yang
diberikan.
c.Metode Diskusi dan Tanya Jawab digunakan untuk memacu kreativitas siswa dalam
memahami dan menguasai materi yang diberikan oleh guru saat kegiatan belajar
mengajar berlangsung.

Media, Alat dan Sumber Belajar
Media adalah bahan yang sudah berisi pesan. Media pelajaran Seni Budaya ini, bisa berupa chart, transparansi, VCD, foto-foto, gambar-gambar. Sedangkan alat adalah alat bantu untuk menyampaikan pesan, dalam pembelajaran Seni Budaya ini berupa tape recorder, OHP, Slide proyektor. Sumber belajar adalah bahan yang dijadikan rujukan dalam penyampaian materi pelajaran. Sumber belajar ini bisa berupa manusia, buku, laboratorium.

Evaluasi
Evaluasi adalah tes akhir yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa di dalam memahami materi pelajaran Seni Budaya yang diberikan oleh guru. Tes adalah pertanyaan yang harus dijawab, pernyataan yang harus dipilih dan ditanggapi, tugas-tugas yang harus dilakukan secara prosedur dan sistematik dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek perilaku tertentu dari siswa. Dalam tes prestasi belajar, hal yang diukur adalah tingkat kemampuan siswa dalam menguasai bahan pelajaran yang telah diajarkan. Tujuan tes adalah: (1) mengidentifikasi profil siswa dalam materi pokok, (2) mengidentifikasi pengetahuan dasar yang telah dimiliki siswa, (3) mengidentifikasi tujuan pembelajaran yang telah dicapai, (4) mengidentifikasi kesalahan yang biasa dilakukan siswa. Evaluasi ini bisa diberikan pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung melalui tanya jawab dan diskusi, ataupun pada saat mengakhiri pelajaran yang berupa tes akhir. Selain itu, ada juga tes formatif yaitu tes tengah semester dan tes sumatif yaitu tes akhir semester.

Salah satu ciri khas pendidikan seni adalah banyaknya perbuatan dan hasil keterampilan yang harus dilakukan siswa. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam mendiagnosa kesulitan belajar dalam pendidikan seni adalah adanya tinjauan pada tes perbuatan (proses) dan tes hasil kerja siswa tersebut. Tes perbuatan (proses) dalam materi Seni Budaya, dianggap lebih tepat bila dibandingkan dengan tes hasil kerja siswa.

Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya
Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya adalah (1) waktu yang tersedia untuk menyampaikan materi Seni Budaya berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tidak mencukupi,(2) Kurang tersedianya sarana prasarana yang menunjang berlangsungnya kegiatan belajar mengajar Seni Budaya, (3) materi pelajaran Seni Budaya tidak termasuk dalam materi pelajaran yang diujikan secara nasional sehingga menjadikan siswa meremehkan pelajaran tersebut, (4) masih terbatasnya kemampuan guru dalam memahami dan menguasai materi pelajaran Seni Budaya sehingga materi pelajaran berkesan monoton dan tidak berkembang, (5) kurangnya dukungan dari orang tua siswa terhadap pelajaran Seni dan Budaya sehingga sedikit banyak menghambat siswa untuk bisa menekuni pelajaran tersebut.

Simpulan Dan Saran
Simpulan
Kebijakan Kepala Sekolah berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, antara lain yaitu: (1) guru diikutkan workshop di sekolah dengan mengundang pakar di bidangnya, (2) membuat perangkat pembelajaran bersama-sama di sekolah dengan dipandu tutor, (3) diadakannya Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di sekolah, (4) melakukan studi banding ke sekolah lain untuk perbaikan proses belajar mengajar, (5) membuat media pelajaran sendiri dalam bentuk VCD dengan mendatangkan tutor, (6) kursus wajib bagi guru dibidang komputer dan bahasa inggris dengan biaya dari sekolah.

Dalam proses pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, terlebih dahulu guru menjabarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ke dalam materi belajar satu semesteran. Materi pelajaran ini harus sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu memperhatikan Standar Proses dan Standar Penilaian. Selanjutnya guru menentukan langkah-langkah pembelajaran yang dituangkan dalam bentuk kegiatan belajar mengajar.Proses belajar mengajar mata pelajaran Seni Budaya meliputi : guru, siswa, materi, kegiatan belajar mengajar, metode, sumber belajar dan evaluasi.

Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam pembelajaran Seni Budaya adalah: (1) waktu yang tersedia untuk menyampaikan materi Seni Budaya berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tidak mencukupi, (2) kurang tersedianya sarana prasarana yang menunjang berlangsungnya kegiatan belajar mengajar Seni Budaya, (3) materi pelajaran Seni Budaya tidak termasuk dalam materi pelajaran yang diujikan secara nasional sehingga menjadikan siswa meremehkan pelajaran tersebut, (4) masih terbatasnya kemampuan guru dalam memahami dan menguasai materi pelajaran Seni Budaya sehingga materi pelajaran berkesan monoton dan tidak berkembang, (5) kurangnya dukungan dari orang tua siswa terhadap pelajaran Seni dan Budaya sehingga sedikit banyak menghambat siswa untuk bisa menekuni pelajaran tersebut.

Saran
Saran-saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
Bagi Kepala Sekolah :
(1)Kegiatan seni hendaknya dilakukan sebagaimana yang diamanatkan dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan
(2)Perlu mendatangkan nara sumber untuk membahas mata pelajaran Seni Budaya
berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(3)Perlu menyediakan sarana prasarana guna kelancaran proses belajar mengajar Seni
Budaya.

Bagi Guru SLTP :
(1)Saat pertemuan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dalam rangka kegiatan
merumuskan mata pelajaran Seni Budaya hendaknya mendatangkan ahli di bidang
pendidikan seni rupa, seni musik, seni tari dan seni teater
(2)Sebagai upaya meningkatkan seni anak, (a) hendaknya guru untuk lebih
meningkatkan potensi seni yang dianggapnya paling dikuasai dan disenangi, (b)
meminta bantuan pada guru lain yang lebih menguasai bidang seni tertentu untuk
mengajar, (c) memberikan dorongan pada anak agar lebih bersemangat dan giat dalam
berseni.
(3)Dalam pembelajaran seni hendaknya lebih memaksimalkan potensi alam sekitar,
demikian pula dalam metode penyampaiannya.
(4)Evaluasi hendaknya lebih mempertimbangkan proses dari pada hasil.

Bagi Dinas Pendidikan :
(1)Perlu diadakan penataran dan pelatihan bagi guru SLTP berkaitan dengan
pemahaman Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(2)Perlu diadakan penataran dan pelatihan bagi guru-guru SLTP guna peningkatan
wawasan, pengetahuan dan apresiasi seni.
(3)Perlu dimasukkannya mata pelajaran Seni Budaya dalam Ujian Akhir Nasional


DAFTAR PUSTAKA

De Porter, B. . Dan M. Hernacki. 1992. Quantum Learning. Unleasing Genius in You. New York : Dell Published

Gardner, H. 1993. Multiple Intellegences: The Theory and Practice. New York: Cambridge University Press.

Goldberg, Merryl. 1997. Arts and Learning. An Integrated Approach to Teaching and Learning in Multicultural and Multilingual Setting. New York : Longman.

Jazuli, M. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Semarang : Universitas Negeri Semarang Press.

Munib, Achmad. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Sebuah Kebijakan dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran). Jurnal Lembar Ilmu Kependidikan no. 2 tahun XXXV 2006 . Semarang : Universitas Negeri Semarang.

Salam, Sofyan. 2001 . Kurikulum Pendidikan Seni yang Esensial dan Realistis. Artikel. Seminar & Lokakarya Nasional Pendidikan Seni 18-20 April. Jakarta.

Semiawan, Cony. 1999. Pendidikan Tinggi : Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Jakarta : Grasindo.

Sindhunata. 2001. Membuka Masa Depan Anak-anak Kita : Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI.Yogyakarta : Kanisius.

Miles, M. B. Dan A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta : UI Press.

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com