PROSES SOSIALISASI, ENKULTURASI, DAN INTERNALISASI DALAM PENDIDIKAN SENI TARI
DI TAMAN KANAK-KANAK
Eny Kusumastuti
PENDAHULUAN
Pada dasarnya di dalam diri manusia terdapat jalinan antara roh dan jasad. Jasad bersifat material, sedangkan roh bersifat immaterial. Kebutuhan hidup manusia meliputi kedua unsur tersebut. Kegiatan manusia yang bersifat material bertujuan untuk memenuhi kebutuhan jasad (kebutuhan pokok) manusia seperti makan, minum, pakaian dan tempat tinggal, yang sering dikaitkan dengan kebutuhan yang bernilai estetis. Selain pemenuhan kebutuhan yang bernilai kebendaan, manusia juga membutuhkan pemenuhan kebutuhan yang bersifat rohani, berupa keselamatan dan kesenangan (plesure) yang meliputi pemenuhan kebutuhan akan rasa suka, mesra, puas, nikmat, enak, maupun gembira. Bidang yang merupakan sarana pemenuhan kebutuhan rohani, antara lain adalah kesenian atau karya seni, meskipun pada perkembangan selanjutnya karya seni kadang tidak lagi merupakan ungkapan nilai estetis dari masing-masing individu tetapi lebih merupakan ungkapan kreatif suatu masyarakat.
Di dalam pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, diperlukan adanya suatu pranata-pranata, salah satunya adalah pranata pendidikan. Fungsi dari pranata ini adalah memobilisasi sumber-sumber daya lingkungan guna mengakomodasi kebutuhan akan pendidikan dengan berpedoman pada kebudayaan yang menjadi kerangkanya. Yang dimaksud dengan pendidikan disini adalah sebuah proses pengalihan kebudayaan, sebagai model-model pengetahuan, nilai-nilai dan kepercayaan. Proses pengalihan yang dilakukan oleh pendidik dan penerimaan yang dilakukan oleh peserta didik, bertalian dengan kebudayaan agar dapat dijadikan pedoman hidup (Rohidi, 1994 : 6-8). Proses pengalihan kebudayaan ini, meliputi sosialisasi, enkulturasi dan inkulturasi. Keberhasilan pendidikan dapat diukur dari sejauh mana proses pengalihan kebudayaan tersebut agar tetap mampu mempertahankan kesinambungan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Di samping itu, pendidikan juga membawa misi pembaharuan kebudayaan, sebagai suatu proses yang kreatif.
Hasil dari pendidikan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, akan terwujud dalam berbagai pola tingkah laku peserta didik yang memungkinkan mereka mampu memainkan peran yang sesuai dengan tuntutan kognitif, psikomotorik, kreatif dan afektif serta memungkinkan untuk memiliki pandangan baru yang khas terhadap diri dan dunia sekitarnya.
Seni tari sebagai salah satu cabang kesenian yang merupakan bagian dari kebudayaan menjadi bagian penting dalam proses pendidikan di Taman Kanak-Kanak. Di dalam Program Kegiatan Belajar di Taman Kanak-Kanak, seni tari masuk ke dalam proses pengembangan motorik anak, baik motorik kasar maupun halus. Sehingga seni tari di dalam proses pendidikan di Taman Kanak-Kanak bukan merupakan kegiatan estetis murni melainkan merupakan kegiatan jasmani yang semata-mata untuk mengembangkan kemampuan anak dalam bergerak baik dengan menggunakan motorik halus ataupun motorik kasar. Meskipun demikian, seni tari di Taman Kanak-Kanak dapat membentuk kreativitas anak.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis akan membahas lebih lanjut bagaimana gambaran proses sosialisasi, enkulturasi dan internalisasi budaya dalam pendidikan seni tari di Taman Kanak-Kanak.
PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES SOSIALISASI, ENKULTURASI, DAN INTERNALISASI
Pendidikan Sebagai Proses Sosialisasi
Teori Broom dalam Rohidi (1994: 12) mengatakan bahwa sosialisasi dilihat dari dua titik pandang yaitu titik pandang masyarakat dan titik pandang individual. Dari titik pandang masyarakat, sosialisasi adalah proses menyelaraskan individu-individu baru anggota masyarakat ke dalam pandangan hidup yang terorganisasi dan menjajarkan mereka tentang tradisi-tradisi budaya masyarakatnya. Sosialisasi adalah tindakan mengubah kondisi manusia dari human animal menjadi human being, sehingga dapat berfungsi sebagai makhluk sosial dan anggota masyarakat sesuai dengan kebudayaan dan masyarakatnya. Sementara itu, dari titik individual, sosialisasi adalah proses mengembangkan diri. Melalui interaksi dengan orang lain, seseorang memperoleh identitas, mengembangkan nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi.
Bagi Parsons (dalam Rohidi 1994: 12) sosialisasi dilihatnya memiliki fungsi bagi individu-individu untuk mengembangkan komitmen-komitmen dan kapasitas-kapasitas yang menjadi prasyarat utama bagi penampilan peranan mereka di masa mendatang. Sementara itu Zanden (dalam Rohidi 1994: 13) mengemukakan bahwa sosialisasi adalah suatu proses interaksi yang memberi peluang kepada calon anggota masyarakat, mengenal cara-cara berfikir, berperanan dan berkelakuan sehingga dapat berperan secara efektif dalam masyarakat. Yang dipelajari adalah nilai-nilai, norma dan simbol.
Proses sosialisasi memerlukan media tertentu yaitu agen of socialization yang meliputi orang tua atau keluarga, teman sebaya, sekolah, media masa dan masyarakat (Rohidi 1994: 16-19).
Orang Tua Atau Keluarga
Menurut tradisi kebudayaan kita, orang tua atau keluarga merupakan lingkungan pertama dan yang terlama bagi seseorang individu berada sejak dilahirkan. Pola hubungan orang tua dan anak terkesan seolah tidak pernah berakhir, bahkan sampai mati sekalipun, hubungan itu masih tetap ada meskipun bersifat spiritual. Sosialisasi dalam keluarga dapat berlangsung seperti yang diharapkan,jika antara mereka yang terlibat didalamnya memperoleh kesempatan untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi. Meskipun tidak mengenal jenjang kronologis atas dasar usia dan keterampilan, tidak ada kurikulum atau jam pelajaran secara khusus, jika pola komunikasi dan interaksi terjadi secara efektif dalam keluarga, maka disadari atau tidak, secara langsung atau tidak langsung, anak akan memperoleh kesempatan untuk belajar berbagai unsur budaya seperti pengetahuan, kebahasaan, etika, keterampilan pengenalan lingkungan dan keterampilan motorik tertentu serta memperoleh kesempatan untuk memainkan status dan perannya di tengah keluarganya.
Teman Sebaya
Kesempatan untuk bermain dengan teman sebayanya adalah kesempatan yang efektif bagi anak dalam proses sosialisasi. Melalui kegiatan bermain dengan teman sebayanya, anak akan belajar mengenal berbagai aturan yang barangkali berbeda dengan kebiasaan yang berlaku di rumahnya. Tanpa disadari, anak dituntut belajar untuk mengembangkan sikap toleran, menghargai milik orang lain, dan memainkan suatu peran tertentu.
Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan formal pertama bagi anak. Dalam lingkungan ini anak akan mengalami proses pembelajaran dalam berbagai hal, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan, ataupun nilai-nilai budaya sekolah yang lain, seperti menegakkan disiplin, taat dan tunduk pada aturan, menerima penghargaan atau hukuman atas berbagai tindakan yang dilakukan.
Media Massa
Dalam abad modern, yang ditandai dengan kemajuan ilmu dan teknologi, media massa menjadi sangat penting perannya dalam proses sosialisasi. Melalui media massa, orang dapat mengenal dan menyerap berbagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai budaya tertentu melalui berbagai informasi yang diliputnya.
Masyarakat
Masyarakat merupakan lingkungan yang sangat kompleks bagi media sosialisasi. Dalam masyarakat yang majemuk, yang terdiri dari berbagai kelompok, etnis, dan aturan, dan nilai-nilai budaya yang heterogen, semisal dalam lingkungan masyarakat kota besar, proses sosialisasi akan semakin sulit dilakukan. Dalam kondisi yang demikian, orang akan dihadapkan pada berbagai pilihan sulit untuk memilih acuan dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebaliknya di lingkungan masyarakat pedesaan, kondisi sosial budaya yang mewarnai lebih bersifat homogen. Oleh karena itu, proses sosialisasi akan lebih mudah dilakukan.
Bagaimanakah cara sosialisasi dilaksanakan ? Mengacu pada teori Broom dan Markoem dalam Rohidi (1994: 20-22) ada tiga cara yang dapat ditempuh dalam proses sosialisasi yaitu (a) pelaziman (conditioning), (b) imitasi / identifikasi (modelling), dan (c) internalisasi (internalisation/learning to cope).
Pelaziman (conditioning)
Pelaziman (conditioning) adalah memberikan pelajaran dengan mengkondisikan anak untuk mengikuti tingkah laku tertentu. Seandainya tidak dilakukan dengan benar, maka ia akan menerima hukuman, dan jika dilakukan dengan baik, maka anak akan mengharapkan imbalan tertentu. Pemberian pelajaran anak dengan kondisi ini akan melatih anak dalam pembentukan watak. Dalam hal ini, terdapat sosialisasi yang langkahnya dipaksakan sehingga menyebabkan timbul gejala compulsive neurotic (gangguan jiwa yang diperoleh dari perbuatan tanpa keinginannya, misalnya anak dipaksa untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak disenangi, walaupun hal itu rutin dan harus dilakukan sehari-hari), terdapat pula sosialisasi yang dilatihkan dengan penuh perhatian dan tidak berlebihan sesuai teori Geofrey Gorer dalam Dananjaya (1988).
Imitasi/identifikasi (Modelling)
Imitasi (modelling) adalah proses belajar yang merangsang anak untuk melihat suatu tokoh yang dapat atau ingin ditiru perbuatannya secara sadar. Jika peniruan hanya sekedar meniru aspek luar dari tokoh atau model tersebut, maka anak melakukan imitasi. Sebaliknya, jika anak ingin menirukan untuk menjadikan dirinya identik dengan tokoh tertentu yang diminati, maka peniruan akan lebih mendalam, seluruh aspek dipahami dengan baik, dan membutuhkan waktu yang lama, maka anak sudah melakukan proses belajar yang indentifikatif . Di sini anak atau individu ingin mengambil alih secara total pribadi tokoh idolanya.
Internalisasi (internalisation/learning to cope)
Internalisasi adalah proses belajar dengan tanpa tekanan, anak menirukan, menguasai dan menyadari bahwa norma-norma yang dipelajari sangat berarti bagi setiap pengembangan dirinya, yang pada akhirnya menjadi bagian dari pribadinya. Dalam proses ini telah terjadi internalisasi, dan dapat dilakukan dengan dua model yaitu model Post-figurative atau disebut juga model deterministik, yaitu orang tua menganggap bahwa norma-norma ataupun kebudayaan harus ditiru secara apa adanya dan tidak boleh diubah. Model kedua yang disebut co-figurative atau disebut model akulturasi diri, yaitu suatu perspektif yang banyak dilakukan kawula muda dalam belajar dengan selalu menghadapi tantangan masa kini, tanpa memandang bentuk “ lamanya” atau “keasliannya” teori Markum (1982) dan Budisantosa (1987).
Pendidikan Sebagai Proses Enkulturasi
Istilah enkulturasi sebagai suatu konsep, secara harfiah dapat dipadankan artinya dengan proses pembudayaan (Koentjaraningrat 1986: 233) atau sosialisasi budaya (Koentowijoyo 1987: 43). Dalam proses itu, seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Enkulturasi akan tampak jelas pada pendidikan humaniora seperti seni, kasusasteraan, musik, tari yang merupakan bentuk ekspresi kreatif. Pendidikan jenis ini berfokus pada fine art, pengetahuan yang didasarkan budaya seseorang berdasarkan teori Kottak dalam Lestari (1998:26). Dengan demikian anak atau individu, mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, pedoman, dan peraturan dalam kebudayaannya. Walaupun demikian proses pembudayaan merupakan paduan dari kompleks pengetahuan, nilai-nilai, gagasan-gagasan pokok dan baku, serta keyakinan, dan nilai-nilai yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial yang isinya merupakan seperangkat model pengetahuan atau sistem makna yang terjalin secara komprehensif dalam simbol-simbol yang ditransmisi secara historis. Model-model pengetahuan ini digunakan secara selektif oleh warga masyarakat pendukungnya untuk berkomunikasi, melestarikan dan menghubungkan pengetahuan, dan bersikap serta bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (Geertz, Suparlan, dalam Rohidi 1994: 23). Dalam pengertian seperti ini, kebudayaan terlihat peranannya sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia (Geertz 1973), atau sebagai pola-pola bagi tingkah laku (Keesing dan Keesing 1971), atau strategi kognitif untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungannya (Spradley, Rapoport, dalam Rohidi 1994 :23).
Pendidikan sebagai institusi berfungsi sebagai media enkulturasi, dapat dilaksanakan secara sistemik bukan saja dilingkungan keluarga, tetapi dapat pula diselenggarakan di sekolah dan di masyarakat. Dalam menjalankan peran sebagai media enkulturasi, setiap intitusi pendidikan sekolah atau luar sekolah haruslah mampu mewariskan dan menanamkan sistem-sistem pengetahuan, kepercayaan, gagasan dan sistem nilai-nilai budaya masyarakat di mana pendidikan berlangsung.
Pendidikan Sebagai Proses Internalisasi
Internalisasi adalah proses penghayatan, proses penguasaan secara mendalam, berlangsung melalui penyuluhan, latihan, penataran atau pengkondisian tertentu lainnya(Depdikbud dalam Rohidi 1994:30). Proses internalisasi ini berlangsung sejak manusia lahir sampai meninggal untuk belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya (Koentjaraningrat 1986). Oleh karena proses internalisasi bersifat pribadi, proses ini diperhatikan melalui proses pengembangan diri dengan belajar dari orang lain, orang tua, guru, instruktur dalam situasi tertentu, sesuai dengan kapasitas sistem organik dan kejiwaannya. Internalisasi sebagai suatu proses pendidikan mengakui bahwa anak atau individu memiliki potensi yang terkandung dalam gen-nya untuk dikembangkan, baik berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu, maupun emosi dalam kepribadiannya. Pilihan atau jarak tingkah laku seseorang anak atau individu adalah budaya yang telah diinternalisasikan dan memproses informasinya (Hall dalam Rohidi 1994: 31).
Di dalam proses internalisasi, budaya terbagi menjadi empat komponen (Parson dalam Lestari 1998: 28) yaitu :
a.Sistem Budaya (culture System), yang merupakan komponen abstrak seperti pengetahuan, gagasan, nilai dan keyakinan yang berfungsi mengendalikan, menanamkan, dan memantapkan tingkah laku atau tindakan individu.
b.Sistem Sosial (Social System), yang terdiri atas pola-pola aktivitas tingkah laku atau tindakan berinteraksi dengan kehidupan masyarakat lingkungan lain. Tindakan ini dapat diobservasi, sehingga sifatnya lebih konkret.
c.Sistem Personalitas (Personality System), bersangkutan dengan psikologis atau watak pribadi seseorang yang berinteraksi dengan masyarakatnya.
d. Sistem Organik (Organic System), yang berfungsi sebagai sumber energik dalam keseluruhan sistem organik makhluk atau individu.
Jika diperhatikan dari sisi psikologis, pendidikan merupakan garapan proses intelektual, keahlian/keterampilan, dan sikap serta nilai-nilai, atau dalam dominan Bloom, Englhrt, Furst, Hill dan Krothwohl (dalam Lestari 1998: 28) merupakan proses cognitive, affective dan psychomotoric, yang diperlukan khususnya dalam pendidikan seni tari. Proses internalisasi akan tampak jelas jika proses pembelajaran afektif dikerjakan dengan tuntas.
PENDIDIKAN SENI TARI DI TAMAN KANAK-KANAK
Seni Tari Untuk Pendidikan Anak
Tari merupakan kegiatan yang kreatif dan konstruktif serta menumbuhkan intensitas emosionil dan makna-makna. Ia dapat menjadi aktivitas rekreasi, tetapi juga dapat menjadi alat ekspresi dan laku estetis. Disinilah letak nilainya bagi anak-anak. Didalam pendidikan, gerak tari harus diamati dari watak ekspresinya, sebab inilah yang mencerminkan nilai imajinasi anak.
Tari masuk didalam kegiatan pendidikan karena memberikan kesehatan, kelembutan, menumbuhkan sensitifitas, percaya diri dan membuat lebih berbudaya seperti yang dikatakan Rogers dalam Kraus (1969: 257). Pendapat ini diperkuat oleh H’Doubler bahwa setiap anak didorong mengambil tari sebagai sebuah pengalaman kreatif seni, sehingga setelah dewasa akan dapat merasakan hasilnya.
Pengalaman tari secara dasar memungkinkan anak-anak lewat percobaan-percobaan, mengetahui tentang bagaimana ia dapat bergerak, mempergunakan gerak dan menemukan kekuatannya sebagai alat komunikasi, serta bagaimana ia dapat membangunnya menjadi bentuk-bentuk yang sederhana sebagai simbol-simbol ekspresi.
Anak harus dibiasakan membuat respon terhadap struktur ritme dari tari dan mengatur gerak-geraknya dalam cara yang beraneka ragam. Ia harus memahami pola-pola gerak yang dibuat oleh orang lain. Dengan demikian ia mulai memperkembangkan kemampuan vokabuler gerak tari untuk dapat dipakai dalam bentuk apa saja. Sebagai komunikasi, rekreasi, bahkan sekedar sebagai ungkapan gerak untuk kesenangan pelakunya. Bagi anak-anak, gerak ritmis sekaligus merupakan kebutuhan organis dan kesenangan yang konstan. Lihatlah, betapa bahagia mereka sewaktu mereka berjalan dan melompat. Tari untuk anak-anak sangat perlu, walaupun hanya untuk kesenangan mereka. Jika dikehendaki mudah sekali kita merangsang sumber kreatif anak-anak yang sering kali aneh dan lucu.
Tari menggunakan tubuh secara ekspresif. Drama dan olah raga meskipun mempergunakan tubuh juga, tetapi penggunaannya tidak semaksimal tari. Gerakan manusia adalah alat yang sangat penting dalam mengkomunikasikan ide-ide dan perasaan. Karena itu ia merupakan indikasi lewat struktur pribadi seseorang. Tari merupakan aktivitas yang membebaskan tubuh dari kejanggalan dan hambatan-hambatan serta membuat tubuh menjadi ritmis.Yulianti Parani mengatakan bahwa pendidikan tari bagi anak-anak haruslah lebih ditujukan untuk merangsang kegiatan anak dan menimbulkan rasa cinta pada tari, mengembangkan imajinasi kreatif anak serta membantu usaha anak dalam mengekspresikan dirinya lewat bahasa gerak yang ritmis dan indah (tanpa tahun: 2).
Kegiatan menari adalah merupakan kegiatan mengekspresikan jiwa seseorang . Melalui pendidikan tari, anak dapat mengungkapkan imajinasi menjadi gerak yang ekspresif serta dapat menjadi aktivitas rekreasi dan laku estetis. Anak-anak sangatlah peka terhadap rangsangan yang mereka terima sehingga timbul dalam diri anak-anak dorongan untuk meniru, mengikuti apa yang mereka terima. Dalam pengalaman estetisnya melalui tari ini, kepekaan anak-anak akan mudah menerima dan mengekspresikan kembali pengalaman-pengalamannya secara kreatif. Dengan kata lain, pendidikan seni tari akan memupuk dan mengembangkan kepekaan serta daya ciptanya untuk mengekspresikan pengalaman-pengalamannya dalam bentuk tari serta mampu menikmati dan menghargai hasil karya seni lainnya.
Di dalam tari, jika siswa menciptakan atau mengungkapkan sesuatu dengan melakukan dan menginterpretasikan ritme dan bentuk- bentuknya, siswa akan terikat secara khusus untuk mengolah materi-materinya yaitu gerakan itu sendiri. Melalui gerakan tubuh, siswa akan belajar (a) membuat suatu interaksi antara sesuatu yang ada di dalam dirinya dengan dunia luar, (b) memperoleh kesan-kesan dari luar dirinya yang memberikan motivasi untuk bereaksi, (c) memproyeksikan dorongan hatinya secara spontan dari dalam ke luar, yang mengungkapkan kehadiran dan energi kehidupan.
Pendidikan seni tari akan lebih efektif apabila diberikan sejak anak duduk di bangku Taman Kanak-Kanak.Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan Prasekolah Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2, diterangkan bahwa: Taman Kanak-kanak adalah salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia empat tahun sampai memasuki pendidikan dasar(Depdikbud 1990: 2).
Taman Kanak-kanak merupakan bentuk pendidikan yang memberikan bekal keberanian dan keterampilan sedini mungkin dan belajar banyak dari kegagalan, sehingga dalam perkembangan selanjutnya kegagalan dapat dihindarkan. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI tentang pendidikan pra sekolah Bab II Tujuan Pasal 3, bahwa:
Pendidikan prasekolah bertujuan untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sifat, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya(Depdikbud 1990: 2).
Prinsip pembelajaran seni tari di Taman Kanak-kanak ialah proses belajar yang menyenangkan anak-anak. Bagi anak-anak, bermain dan belajar tidak dapat dipisahkan. Bermain adalah salah satu cara anak-anak untuk belajar. Kegiatan belajar menari ini memungkinkan keterampilan anak terlatih sedini mungkin, sehingga mereka bisa mengembangkan kemampuan mereka yang optimum.
RM. Wisnoe Wardhana menegaskan bahwa kesinambungan studi seni tari atau pendidikan seni tari yang ideal adalah apabila terwujud kesinambungan pendidikan tari sejak Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Hal itu memudahkan perkembangan prestasi anak yang sekaligus akan meningkatkan perkembangan anak dan bobot seni tari (1990: 123).
Kegiatan menari di Taman Kanak-Kanak masuk di dalam pengembangan kemampuan dasar daya cipta yang bertujuan membuat anak didik menjadi kreatif, yaitu lancar, fleksibel dan orisinil dalam bertutur kata, berfikir serta berolah raga tangan dan beroleh raga tubuh sebagai latihan motorik halus dan motorik kasar. Oleh karena itu, pengembangan daya cipta harus ada di dalam pengembangan bahasa, daya pikir, keterampilan dan jasmani. Lebih khusus, seni tari masuk di dalam pengembangan kemampuan dasar jasmani yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan motorik kasar (Depdikbud 1994: 5-12).
Tujuan Pendidikan Seni Tari
Tujuan pendidikan tari adalah menanamkan pengaruh yang bermanfaat dari kegiatan menari kreatif terhadap pembentukan kepribadian siswa, bukan untuk menciptakan tari-tarian untuk pertunjukkan (Depdikbud 1999; 180). Sementara itu Richard Kraus (1969: 271-274) mengatakan bahwa ada enam pokok tujuan tari dalam pendidikan yang bisa dikenali, yaitu :
Pendidikan gerak
Pendidikan gerak menjadi penting bagi pendidikan jasmani, khususnya pendidikan tingkat dasar. Tari telah menyediakan sebuah media untuk bereksperimen dan mempertunjukkan kreatifitas gerak yang sangat potensial. Di samping itu tari dapat mengembangkan kemampuan motorik halus dan kasar anak.
Perkembangan kreatifitas individu.
Tari menawarkan kesempatan untuk semua kalangan yang senang tari, untuk belajar tari atau menjadi pengajar tari. Dengan belajar tari, kreativitas anak akan terasah dengan baik.
Pengalaman estetis
Pada saat yang bersamaan, begitu tari mengembangkan kreativitas, tari turut pula membantu untuk membuka pengalaman estetis anak. Meskipun di dalam pendidikan seni tari di Taman Kanak-Kanak, nilai-nilai estetis tidak menjadi tujuan utama.
Antar budaya dan penggabungan pengalaman
Tari menyiapkan media yang kaya untuk menjelajahi adat istiadat, sikap, sejarah, cara hidup masyarakat dari pulau lain. Tari mempunyai kaitan dengan musik, puisi dan teater. Dengan demikian, seni tari membawa anak untuk mengenal multikulturalisme yang ada di Indonesia.
Keterlibatan sosial
Tari memberikan kemungkinan adanya partisipasi sosial. Pengalaman akademik, mendorong secara kuat terjadinya interaksi sosial, hubungan antar individu dalam grup kecil atau bahkan di dalam lingkup masyarakat.
Pembawa Nilai
Tari, dapat dilihat sebagai sebuah persiapan, yang pada akhirnya nanti dapat membawa nilai tersendiri.
Hasil dari pendidikan tari, bukanlah merupakan tujuan akhir, tetapi merupakan suatu cara di mana ekspresi artistik telah dibina, baik yang kreatif ataupun yang berguna bagi perkembangan yang wajar terhadap bakat-bakat dan tingkat perkembangan siswa.
Dalam pendidikan tari, kriteria penilaian bukanlah mengenai baik buruknya tarian itu. Sasarannya adalah suatu proses kreatif yang memberikan pengalaman kepada siswa, sehingga dapat menjadi sarana untuk membantu mengembangkan eksistensi pribadi yang utuh. Dengan demikian akan melahirkan kepuasan-kepuasan bagi siswa yang melakukannya, karena siswa itu telah melalui berbagai tahapan pendalaman melalui gerak tubuhnya sebagai media.
PROSES SOSIALISASI, ENKULTURASI DAN INTERNALISASI DALAM PENDIDIKAN SENI TARI DI TAMAN KANAK-KANAK
Di dalam proses sosialisasi, enkulturasi dan internalisasi, sekolah merupakan lingkungan formal pertama bagi anak. Taman Kanak-Kanak merupakan pendidikan pra sekolah yang di buat untuk tempat anak usia 4-6 tahun melakukan proses sosialisasi, enkulturasi dan internalisasi.Di dalam lingkungan pendidikan pra sekolah ini, anak akan mengalami proses pembelajaran dalam berbagai hal, baik yang menyangkut pendidikan perilaku melalui pembiasaan maupun pengembangan kemampuan dasar. Pembentukan perilaku yang melalui pembiasaan ini meliputi Moral Pancasila, Agama, Perasaan/Emosi, Kemampuan Bermasyarakat dan Disiplin. Sedangkan Pengembangan Kemampuan dasar meliputi daya cipta, bahasa, daya pikir, keterampilan dan jasmani.
Seni tari dapat berfungsi sebagai media dalam pembentukan perilaku dan pengembangan kemampuan dasar anak. Secara khusus, seni tari masuk di dalam pengembangan kemampuan dasar anak dalam bidang pengembangan keterampilan dan pengembangan jasmani yaitu melalui pengembangan motorik kasar dan motorik halus anak. Anak diajarkan menirukan gerak binatang dan tanaman, menggerakkan kepala, tangan, kaki sesuai dengan irama musik, senam dengan berbagai variasi, menari (melakukan gerak-gerak tari), menciptakan gerak-gerak untuk menggambarkan sesuatu tanpa bercakap-cakap.
Proses sosialisasi di dalam pendidikan seni tari, terjadi secara spontan. Dalam belajar seni tari, anak diajarkan untuk mengenal secara dekat manusia, hewan, alam sekitarnya dengan melalui proses melihat, meraba dan mendengar. Melalui proses ini, anak diajak untuk menterjemahkan apa-apa yang dilihat, didengar dan diraba melalui media gerak. Dengan demikian anak secara tidak langsung sudah melakukan sosialisasi dengan alam sekitarnya melalui gerak tari.
Proses enkulturasi di dalam pendidikan seni tari terjadi melalui materi gerak tari yang diberikan oleh guru. Guru mengenalkan budaya daerah sendiri ataupun budaya daerah lain melalui gerak tari yang diajarkan. Dengan mempelajari gerak tari tersebut anak bisa mengerti, mengenal dan menyerap adat istiadat dan budaya sendiri ataupun daerah lain.
Proses internalisasi terjadi setelah anak mengalami proses sosialisasi dan enkulturasi di dalam kehidupan mereka. Dalam proses ini, anak diajarkan lebih dalam agar bisa lebih menghayati lagi tentang budaya dan adat istiadat mereka melalui pengajaran gerak tari.
PENUTUP
Pendidikan merupakan proses pengalihan kebudayaan, yang di dalamnya terjadi proses sosialisasi, enkulturasi dan internalisasi. Proses sosialisasi merupakan proses untuk mengubah kondisi manusia dari human animal menjadi human beeing, sehingga dapat berfungsi sebagai makhluk sosial dan anggota masyarakat sesuai dengan kebudayaan dan masyarakatnya. Cara melakukan proses sosialisasi yaitu dengan pelaziman, imitasi dan internalisasi. Proses enkulturasi merupakan proses seseorang untuk mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalm kebudayaannya. Proses internalisasi adalah proses penghayatan, atau penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui penyuluhan, latihan atau pengkondisian tertentu.
Proses sosialisasi, enkulturasi dan internalisasi dalam pendidikan seni tari di Taman Kanak-Kanak terjadi melalui gerak-gerak tari yang diajarkan oleh guru. Gerak tari ini merupakan proses dari pengamatan terhadap manusia, hewan dan alam sekitarnya yang dilakukan oleh anak dan guru. Dari proses pengamatan ini, anak diajak untuk menuangkan ke dalam gerak-gerak tari sebagai proses sosialisasi, enkulturasi dan internalisasi mereka. Sehingga tanpa disadari anak, anak sudah melakukan proses sosialisasi, enkulturasi dan internalisasi melalui belajar tari dan bermain.
DAFTAR PUSTAKA
Dananjaya, J. 1988. Antropologi Psikologi. Jakarta: Rajawali
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1994. Program Kegiatan Belajar Taman Kanak-Kanak: Garis-garis Besar Program Kegiatan Belajar. Jakarta: IGTKI-PGRI I D.I. Yogyakarta.
Dinas Kebudayaan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 1999. Konsep Pendidikan Kesenian, Panduan Teknis Sebagai Pelengkap Penataran Pendidikan Kesenian Bagi Guru Taman Kanak-Kanak dan Guru SD di DKI Jakarta
Koentjoroningrat . 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta; Aksara Baru
Koentowijoyo. 1987. Budaya Dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Kraus. Richard. 1969. History of The Dance In Art And Education. New Jersey. Prentice Hall inc. Englewod Cliffs.
Lestari. Wahyu. 1989.Proses Sosialisasi, Enkulturasi dan Internalisasi Dalam Pengajaran Seni Tari Pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. PPs. IKIP Yogyakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 27 tahun 1990. tentang Pendidikan Prasekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 1994. Pendekatan Sistem Sosial Budaya Dalam Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Wardhana, Wisnoe, RM. 1990. Pendidikan Seni Tari Buku Guru Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Parani, Yulianti, dkk. Tanpa tahun. Tari Pendidikan Pedoman Pengajaran Tari dalam Pendidikan Sekolah Dasar. Jakarta. Akademi Tari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta.
Sabtu, 30 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
:))
sya sedang mencari 3 teori yg berkaitan dg "internalisasi pendidikan" adayg tau gk?
Posting Komentar