EKSISTENSI WANITA PENARI DAN PENCIPTA TARI DI KOTA SEMARANG
Eny Kusumastuti
Staf Pengajar Jurusan Sendratasik FBS UNNES
Abstrak
Profesi sebagai pencipta tari dan penari bukan hanya dilakukan oleh kaum pria saja, tetapi juga kaum wanita, baik yang sudah menikah ataupun yang belum menikah. Masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah gambaran eksistensi wanita dalam profesi sebagai pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di Kota Semarang ? (2) Faktor-faktor apakah yang menghambat dan mendorong wanita pencipta tari dan penari untuk dapat eksis berprofesi sebagai pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di Kota Semarang? Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui, memahami, menjelaskan eksistensi, dan faktor-faktor yang menghambat dan mendorong wanita pencipta tari dan penari dalam seni tari. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan fokus penelitian wanita pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di Kota Semarang. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Teknik analisis data dengan cara mereduksi, mengklarifikasi, mendiskripsi, menyimpulkan dan menginterpretasikan semua informasi secara selektif. Teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan dependabilitas dan konfirmabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1 tahun terakhir ini, dari 20 orang wanita, 4 orang wanita masih eksis berprofesi sebagai pencipta tari dan penari, dan 7 orang wanita masih eksis berprofesi sebagai penari. Faktor-faktor yang menghambat adalah (1) rasa deskriminatif, (2) kultur (budaya), (3) keluarga, (4) naluri kewanitaan, (5) wanita pekerja, (6) latar belakang pendidikan, (7) orientasi komersil dalam berkarya, (8) pandangan masyarakat, (9) apresiasi masyarakat yang masih rendah. Faktor-faktor yang mendorong, adalah (1) kesetaraan gender, (2) kultur (budaya), (3) keluarga, (4) naluri kewanitaan, (5) latar belakang pendidikan, (6) orientasi komersial dalam berkarya.
Kata kunci : eksistensi, wanita penari, wanita pencipta tari, karya tari.
A. Pendahuluan
Aktivitas kesenian, khususnya dalam mencipta dan menampilkan sebuah karya seni merupakan suatu kebutuhan hidup individual maupun sosial. Mencipta dan menampilkan sebuah karya seni merupakan suatu bentuk aktualisasi diri yang bisa dilihat dan diapresiasi oleh orang lain. Berkarya atau kegiatan mencipta karya seni dapat merupakan sekedar hobi yaitu sebagai selingan dalam aktivitas sehari-hari atau merupakan sebuah profesi yaitu merupakan pekerjaan utama dalam kehidupan sehari-hari. Pencipta karya seni tari atau penari adalah suatu bidang profesi yang dapat menjadi pilihan hidup manusia terutama yang memiliki potensi kreatif di bidang ini. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa profesi di bidang ini juga dapat membawa sukses yang gemilang. Karya-karya berkualitas yang dihasilkan oleh seniman pencipta ataupun penari profesional dapat memperoleh penghargaan baik secara moril ataupun finansial.
Banyak orang yang telah menunjukkan eksistensinya sebagai seniman pencipta atau penari profesional diberbagai tempat, kota, negara atau bahkan telah berkiprah di manca negara. Tetapi ada fenomena yang menarik untuk dicermati dan perlu mendapat kajian lebih dalam yaitu profesi pencipta atau penari lebih banyak didominasi oleh pria dibandingkan dengan wanita. Hal ini lebih disebabkan karena kodrat wanita sebagai ibu rumah tangga. Menurut penelitian Endang (2003) mengenai Citra Wanita Penari Tayub, menunjukkan bahwa menjadi penari Tayub merupakan suatu tantangan. Hal ini disebabkan karena tugas yang dijalankan sebagai penari Tayub adalah malam hari, yaitu pada saat seorang ibu dibutuhkan oleh anak untuk membimbing belajar serta mendampingi anak tatkala hendak berangkat tidur. Disamping itu, adanya pandangan mayarakat terhadap mereka, bahwa profesi sebagai penari Tayub dianggap kurang terpuji.
Fenomena tersebut menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam lagi untuk menemukan jawaban mengapa terjadi kesenjangan terhadap eksistensi wanita di dalam profesinya sebagai seniman dan faktor-faktor yang mendorong dan menghambatnya. Sebab apabila dilihat dari potensi individual yang dibutuhkan oleh seorang penari, wanita sudah memilikinya. Dari soal citarasa keindahan, kehalusan rasa dan keterampilan seni, justru wanita dapat lebih unggul dibandingkan pria.
Berbicara tentang seni, tentu tidak terlepas dari arti seni itu sendiri, seniman pencipta, seniman pelaku maupun karya seni sebagai produk. Seni adalah suatu kegiatan manusia yang secara sadar dengan perantara tanda-tanda lahiriah tertentu menyampaikan pesan-pesan yang telah dihayatinya kepada orang lain sehingga mereka kejangkitan perasaan-perasaan ini dan juga mengalaminya (Tolstoy dalam The Liang Gie, 1976 : 60). Hakekat seni adalah suatu ranah kegiatan manusia yang bersifat ekspresif, yaitu bersifat pernyataan, atau khususnya ungkapan rasa. Ada sejumlah gagasan yang didominasi oleh imajinasi yang hendak disampaikan oleh seniman. Pihak yang dituju dalam penyampaian itu diharapkan akan terpukau dan terlarut ke dalam sajian seni yang bersangkutan (Sedyawati, 1992 : 10). Untuk memungkinkan keterpukauan itu, maka ungkapan seni harus disalurkan melalui teknik yang telah terolah secara khusus oleh seniman.
Seniman adalah seseorang yang mempunyai kemahiran teknis dalam suatu bidang kegiatan tertentu, dan kemahiran itu dipraktekkan dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tertentu akan rasa (dan perasaan). Seniman mempunyai kriteria-kriteria tertentu, yaitu (1) seseorang yang dengan sarana teknisnya itu, menyampaikan pesan-pesan tertentu yang pada hakekatnya menempatkan manusia sebagai aktor yang merenungkan, menilai dan mengambil sikap ataupun tindakan dalam menata kehidupannya di dunia (2) kedudukan seniman sebagai penemu adalah seseorang yang mampu mencari sumber-sumber baru, ataupun mengembangkan gagasan-gagasan artistik baru yang berujung pada ditemukannya teknik-teknik maupun media baru sebagai sarana ekspresi seni (Buchori, 1996 :2). Selanjutnya seniman dapat digolongkan kedalam seniman pencipta dan seniman pelaku.
Aktualisasi kedudukan seniman dalam masyarakat disalurkan melalui pengikatan diri dengan jenis-jenis pekerjaan tertentu. Termasuk diantaranya yang memilih pekerjaan di bidang seni tari atau profesi ke-senitarian, yaitu menjadi seniman profesional dalam arti melakukan pekerjaan seni tari baik sebagai pencipta maupun penari sebagai pekerjaan pokok (Sedyawati, 1992 :7). Dalam proses kreatif seni, khususnya seni tari ini, seniman berupaya menunjukkan eksistensinya lewat karyanya atau aktivitas kesenitarian dengan mencipta atau menampilkan dan sekaligus mengkomunikasikan karyanya kepada khalayak pengamat melalui gelar karya atau pertunjukan-pertunjukan.
Karya seni, adalah bentuk inderawi yang diciptakan manusia, yang dengan sendirinya memeragakan perasaan terhadap suatu nilai. Nilai yang dimaksud adalah nilai estetis yang berkaitan dengan rasa senang yang timbul pada saat menghayati bentuk-bentuk baik yang alamiah maupun yang artistik secara murni (Bruyne dalam Sahman, 1993 : 29). Jadi apa yang disebut karya seni itu sesungguhnya bisa dilihat sebagai perpaduan antara wujud lahiriah yang bisa diamati dan perasaan terhadap nilai tertentu yang berdimensi rohaniah. Wujud lahiriah ini lewat ciri-ciri lahiriahnya mengejawantahkan sikap batin atau perasaan terhadap nilai tertentu itu. Begitu pula halnya dengan sikap batin itu akan memperoleh wujudnya yang harmonis secara langsung.
Seni tari merupakan salah satu karya seni yang penghayatannya menggunakan tubuh manusia sebagai media ungkap. Soedarsono (1978 : 4) menjelaskan bahwa tari sebagai ekspresi jiwa manusia melalui gerak-gerak yang indah. Substansi baku tari adalah gerak dan ritme (John Martin dalam Soedarsono, 1978 : 1). Gerak adalah pengalaman fisik yang paling elementer dari kehidupan manusia. Gerak tidak hanya terdapat di dalam denyutan-denyutan seluruh tubuh manusia untuk tetap dapat memungkinkan manusia hidup, tetapi gerak juga terdapat pada ekspresi dari segala pengalaman emosional. Curt Sach (dalam Sudarsono. 1978 : 1) menyatakan bahwa substansi dasar tari adalah gerak, tetapi gerak-gerak yang ada dalam tari itu bukanlah gerak yang realistis, melainkan gerak yang telah diberi bentuk ekspresif. Langer (1988 : 14) menekankan bahwa bentuk ekspresif itu adalah sebuah bentuk yang diciptakan manusia untuk bisa dirasakan (dinikmati dengan rasa). Gerak-gerak ekspresif adalah gerak-gerak yang indah, yang bisa menggetarkan perasaan manusia. Adapun gerak yang indah adalah gerak yang sudah distilir yang didalamnya mengandung ritme tertentu. Gerak yang indah ini, bukan saja hanya gerak-gerak yang halus dan indah saja tetapi gerak-gerak yang kasar, keras, kuat, penuh dengan tekanan-tekanan serta aneh pun dapat merupakan gerak yang indah.
Pada dasarnya gerak terungkap atau terwujud dengan adanya elemen-elemen dasar dari gerak yang membuat tari dapat menjadi ekspresi seni. Elemen-elemen dasar tari adalah tenaga, ruang dan waktu (Humprey, 1983 :23). Tenaga adalah unsur atau kekuatan yang mengawali, mengendalikan serta menghentikan gerak. Ruang merupakan unsur pokok yang turut mewujudkan gerakan. Ruang ini bisa diartikan sebagai ruang gerak dan ruang tempat menari. Unsur ruang juga meliputi posisi, level, volume dan fokus. Waktu adalah lama pendeknya rangkaian-rangkaian gerak. Unsur waktu terbagi menjadi dua yaitu ritme dan tempo. Ritme adalah ukuran-ukuran detail waktu dari awal bergerak sampai menghentikan geraknya. Sedangkan tempo adalah ukuran waktu dalam menyelesaikan suatu gerakan atau rangkaian gerak.
Di samping elemen-elemen dasar gerak, tari juga mengandung nilai-nilai keindahan. Nilai-nilai keindahan tari ini terletak pada wiraga, wirama dan wirasa. Wiraga adalah ungkapan secara fisik dari awal sampai akhir menari. Wirama adalah ketepatan ritme dan tempo gerak yang selaras dengan irama iringannya. Sedangkan wirasa adalah penjiwaan atau kemampuan penari didalam mengungkapkan rasa emosi yang sesuai dengan isi atau tema atau karakter dari tarian tersebut (Rusliana, 1984 : 14-15).
Yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah 1) bagaimanakah gambaran eksistensi wanita dalam profesi sebagai pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di kota Semarang ? 2) Faktor-faktor apakah yang menghambat dan mendorong wanita pencipta tari dan penari untuk dapat eksis berprofesi sebagai pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di kota Semarang ?
B. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Sasaran utama penelitian ini adalah : (1) eksistensi wanita pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di kota Semarang, (2) faktor-faktor pendorong dan penghambat eksistensi wanita pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di kota Semarang. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, cara yang dilakukan adalah melakukan observasi, wawancara terarah dan tidak terarah serta studi dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada analisis Miles dan Huberman (1994 :10) dimana proses analisis data yang digunakan secara serempak mulai dari proses pengumpulan data, mereduksi, mengklarifikasi, mendiskripsikan, menyimpulkan dan menginterpretasikan semua informasi secara selektif. Langkah terakhir dari analisis data dalam penelitian ini adalah verifikasi atau pemeriksaan keabsahan data, memakai dependabilitas dan konfirmabilitas (Lincoln dan Guba dalam Jazuli, 2001 : 34).
C. Hasil dan Pembahasan
1.Eksistensi Wanita Pencipta Tari dan Penari Dalam Komunitas Seniman di Kota Semarang
Untuk mengetahui gambaran eksistensi wanita pencipta tari dan penari dalam komunitas seniman di kota Semarang, dapat dilihat dalam kegiatan gelar karya atau pementasan sebagai indikator utama dalam mengukur eksistensi dan produktivitas seorang pencipta tari dan penari. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini, dari 20 pencipta tari dan penari yang ada di kota Semarang hanya ada 4 orang wanita yang masih eksis mencipta tari, dan 7 orang wanita yang eksis sebagai penari. Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa frekwensi aktifitas wanita pencipta tari dan penari masih sangat kecil dalam berkarya. Hal ini disebabkan karena banyak faktor yang menghambat.
Komunitas seniman wanita pencipta tari dan penari di kota Semarang cukup banyak jumlahnya, baik yang belum menikah ataupun yang sudah menikah, yang tersebar di berbagai tempat, seperti sanggar, dan sekolah. Latar belakang pendidikan wanita pencipta tari dan penari bermacam-macam, mulai dari yang otodidak, lulusan sanggar sampai dengan sarjana pendidikan seni tari, dengan variasi pekerjaan yang bermacam-macam yaitu pelatih sanggar tari, murni sebagai pencipta tari dan penari, guru Sekolah Dasar, guru Sekolah Lanjutan Pertama, guru Sekolah Lanjutan Atas, dan Dosen Pendidikan Seni Tari.
Pada awalnya aktifitas kegiatan menari dan mencipta tari dimulai sejak masih belia / gadis sebagai penari, berlanjut sampai dengan setelah menikah dan memiliki anak. Meskipun ada diantaranya yang berhenti berkreasi setelah menikah dan memiliki anak. Hal ini disebabkan olah kesibukan mengurusi keluarga, dan anak, sehingga tidak memiliki waktu lagi untuk berkreasi menciptakan karya tari ataupun menari. Bagi wanita pencipta tari dan penari yang masih eksis sampai sekarang, dan mendapat dukungan dari pihak suami, anak-anak, dan keluarga selalu berusaha untuk sebisa mungkin mewujudkan ide dan karya yang bisa dinikmati oleh khalayak umum. Cara-cara yang dilakukan oleh suami, anak, dan keluarga dalam upaya mendukung wanita pencipta tari dan penari untuk bisa eksis berkarya di bidangnya, yaitu dengan memberikan waktu untuk berkarya, menghantar jemput, dan melihat hasil karya yang sudah jadi. Seperti yang diungkapkan Utina (wawancara, 8 Agustus 2007) bahwa suami dan keluarga selalu memberikan waktu dan kesempatan untuk berkarya, bahkan seringkali suami mendampingi apabila ada kegiatan mencipta tari, dan menari. Senada dengan pendapat Utina, Alim (wawancara, 8 Agustus 2007) mengatakan bahwa suami mendukung kegiatan isteri mencipta tari dan menari, sejauhmana isteri mampu membagi waktu dan menempatkan dirinya sebagai isteri, ibu, penari dan pencipta tari. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa sebagai suami, merasa bangga dengan kegiatan isteri dalam bidang seni tari karena selain bisa mendapatkan penghasilan tambahan, juga senang dengan kesibukan isteri dalam mewujudkan keinginannya dalam dunia seni tari.
Dunia ke-senitari-an bagi sebagian wanita pencipta tari dan penari bisa merupakan satu-satunya sumber penghasilan dalam keluarga, tetapi bagi sebagian wanita ada juga yang hanya sekedar untuk tempat berkreasi saja. Kegiatan mencipta tari dan menari bagi wanita dilakukan dengan rasa senang tanpa adanya keterpaksaan, seperti yang dikatakan Utina (wawancara, 8 Agustus 2007) bahwa kegiatan mencipta tari dan menari selalu dilakukan dengan perasaan senang, ringan tanpa adanya keterpaksaan dari pihak manapun. Kegiatan mencipta dilakukan tidak setiap saat dengan termin waktu yang ditentukan, akan tetapi tergantung dengan mood / kelonggaran ide si pencipta. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan untuk menerima pesanan dari pihak luar, misalnya untuk acara-acara tertentu. Sedangkan kegiatan menari, biasanya dilakukan setelah ada tawaran untuk pentas, misalnya pada acara pernikahan, peresmian sebuah tempat, sampai dengan acara festival tari. Kegiatan menari inipun tidak pasti dilakukan dengan termin waktu yang sama, akan tetapi tergantung pada permintaan pasar.
Karya tari yang merupakan hasil ciptaan wanita, hampir semuanya tidak pernah dipublikasikan dan dikomersialkan. Kalaupun ada yang dipublikasikan biasanya tergantung pada permintaan pasar, karena yang paling utama adalah proses pencapaian kepuasan diri. Kelemahan wanita pencipta tari dalam komunitas seniman kota Semarang, jarang sekali yang menyimpan dokumentasi karya tari hasil ciptaannya, sehingga apabila kemudian hari diperlukan tidak lagi mempunyai arsip atau dokumentasi.
Selain sebagai pencipta tari, wanita dalam komunitas seniman kota Semarang juga menari untuk konsumsi masyarakat umum. Bagi wanita penari yang belum menikah, rata-rata dalam satu bulan menari 10 kali ataupun lebih, berbeda dengan wanita yang sudah menikah, frekwensi menari tentu akan sangat jauh berkurang atau sama sekali sudah tidak pernah melakukannya lagi. Seperti yang diungkapkan Utina (wawancara, 8 Agustus 2007) bahwa dalam satu bulan bisa menari minimal 10 kali atau bahkan bisa lebih apabila musim orang punya kerja. Hal ini disebabkan karena kesibukan wanita penari yang sudah menikah jauh berbeda dengan wanita penari yang belum menikah. Tuntutan suami, anak, dan keluarga sangat membatasi ruang gerak wanita penari yang sudah menikah.
2.Faktor Penghambat dan Pendorong Wanita untuk Eksis sebagai Pencipta Tari maupun Penari
Berdasarkan data yang terkumpul, maka dapat dikemukakan adanya beberapa hal yang menjadi faktor pendorong dan penghambat bagi wanita untuk eksis sebagai pencipta tari dan penari, khususnya wanita pencipta tari dan penari di Kota Semarang.
1. Faktor Penghambat
1.1. Rasa Deskriminatif
Adanya rasa deskriminatif yang terkadang muncul dalam diri wanita yakni wanita terkadang ada yang merasa disisihkan karyanya oleh laki-laki yang mungkin terjadi karena kecilnya frekuensi kemunculan karya-karya wanita dalam tataran gelar karya dibandingkan laki-laki, dan image yang telah terbentuk seolah-olah dalam hal kegiatan kesenitarian, laki-laki jauh lebih unggul dari pada wanita baik kualitas maupun kuantitas karyanya. Sehingga terkadang wanita ada yang merasakan seolah-olah didiskriminasikan.
1.2. Pengaruh Kultur (budaya)
Dalam pandangan kebudayaan Jawa, ada pandangan yang beranggapan bahwa bagi wanita seolah-olah seni itu tabu karena identik dengan masyarakat bawah. Orang tua terkadang tidak rela bila anaknya terutama perempuan tampil berprofesi sebagai seniman. Pencipta tari atau penari identik sebagai penghibur dan dirasa kurang terhormat dengan predikat tersebut di kalangan masyarakat. Hal ini berdampak pada anak perempuan maupun laki-laki yang akan merasa malu apabila berprofesi sebagai seniman. Sehingga secara budaya muncul gejala bahwa yang memilih profesi seni khususnya seni tari adalah kalangan masyarakat menengah ke bawah. Selain itu, kehidupan sosial budaya Jawa juga dapat dikatakan kurang mendukung eksistensi wanita sebagai pencipta tari maupun penari.
1.3. Pengaruh Keluarga
Pada umumnya wanita dalam kehidupannya tidak akan pernah terlepas dari keluarga, demikian pula dengan wanita dalam profesi peñcipta tari maupun penari. Wanita yang belum menikah akan mendapatkan pengaruh yang besar dari orang tua dan saudara, demikian pula bagi wanita yang sudah menikah akan mendapatkan pengaruh yang besar dari suami dan anak-anaknya. Wanita yang sudah menikah dan berperan sebagai ibu maupun sebagai istri harus mengabdi kepada suami dan mengurusi keluarga yang sudah barang tentu sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran. Sementara itu, profesi sebagai pencipta tari maupun penari sangat membutuhkan waktu, tenaga dan pikiran, serta suasana yang mendukung. Sebagai pencipta tari, pada saat ada ide untuk berkarya mungkin tidak bisa secepatnya tersalurkan karena terganggu oleh anak dan urusan rumah tangga. Berbeda dengan wanita yang belum menikah, mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk berprofesi sebagai pencipta tari maupun penari karena belum mempunyai kesibukan mengurus keluarga (Haryanti, wawancara, 15 Agustus 2007). Lebih lanjut Haryanti mengatakan, bahwa wanita Jawa yang sudah menikah identik dengan seorang isteri yang taat mengabdi kepada suami sehingga tidak boleh melakukan aktifitas yang banyak menghabiskan waktu dan perhatiannya di luar kepentingan suami, keluarga dan rumah tangga (wawancara 15 Agustus 2007). Wanita kebanyakan kesulitan membagi waktunya untuk eksis sebagai pencipta tari dan penari karena urusan rumah tangga dan keluarga, apalagi bagi wanita yang mempunyai pekerjaan lain tentunya akan semakin kesulitan dan menjadi penghambat untuk berkarya dan eksis sebagai pencipta tari dan penari.
1.4. Naluri Kewanitaan
Naluri dalam kedudukan sebagai wanita, yakni ibu rumah tangga atau isteri yang lebih banyak menyita pikiran, tenaga dan waktu untuk keluarga, mengurus rumahtangga dan anggota keluarga, baik suami maupun anak-anaknya (Haryanti, wawancara, 15 Agustus 2007).
1.5. Wanita Pekerja
Wanita yang bekerja atau mempunyai profesi lain, menghambat kemauan dan potensinya dalam kegiatan kesenitarian. Hal ini terjadi karena waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian bahkan biaya sudah terbagi kepada profesi lain sehingga secara otomatis ikut menghambat kemauannya untuk eksis sebagai pencipta tari maupun sebagai penari.
1.6. Latar Belakang Pendidikan
Latar belakang pendidikan seni tari bagi wanita, sesungguhnya menunjukkan persentase yang cukup tinggi dibandingkan dengan pria, sehingga pengembangan lebih lanjut untuk menjadi seorang pencipta tari dan penari profesional lebih luas. Akan tetapi faktor minat dari awal untuk menjadi pencipta tari dan penari sangat kecil sehingga sangat sedikit wanita yang eksis sebagai pencipta tari dan penari. Pada umumnya wanita lebih memilih untuk menjadi seorang pendidik seni tari, karena dianggap lebih mudah, lebih sederhana dalam arti secara ekonomi lebih cepat memperoleh hasil secara berkala dan juga lebih terhormat di mata masyarakat.
1.7. Orientasi Komersial dalam Berkarya
Perlu disadari bahwa di dalam berkarya seni diperlukan biaya dengan harapan menghasilkan karya yang mudah laku terjual, sehingga hal ini menyebabkan terbelenggunya proses kreatif.
1.8. Pandangan Masyarakat
Pandangan sebagian masyarakat yang memandang profesi seniman khususnya seni tari sebagai sosok yang bebas dan tidak teratur sehingga banyak orang tua yang tidak menghendaki anaknya terutama anak wanitanya menjadi seniman. Pada umumnya, orang tua mengarahkan anaknya sejak kecil untuk menjadi seorang yang mempunyai profesi di luar seniman, karena pekerja seni dipandang identik dengan kalangan bawah yang hidupnya tidak teratur dan kerjanya tidak menjanjikan secara ekonomis.
1.9. Apresiasi Masyarakat yang masih rendah
Apresiasi masyarakat yang masih rendah terhadap karya seni tari tidak bisa menjamin kontiunitas ekonomi wanita pencipta tari maupun penari. Mencipta tari ataupun menari tidak dapat dijadikan sandaran perekonomian keluarga secara rutin setiap bulan. Bahkan terkadang kerja seni terasa sia-sia karena banyak menghabiskan waktu, perhatian dan biaya, sementara itu pada saat-saat tertentu terutama yang sudah berkeluarga tidak bisa berspekulatif bermain-main dengan waktu akibat kebutuhan rumah tangga sudah mendesak dan pasti. Selain itu iklim seni kadang tidak terbentuk dengan baik karena sikap masyarakat dan pemerintah yang kurang apresiatif terhadap karya-karya seni tari. Akibatnya penghargaan terhadap hasil karya tersebut menjadi sulit dan menjadikan seniman kurang bersemangat untuk eksis sebagai pencipta tari dan penari profesional. Dengan kata lain, masyarakat belum tahu mengkonsumsi seni dengan baik sehingga tidak memberikan harapan hidup untuk pekerja seni.
2. Faktor Pendorong
2.1. Kesetaraan Gender
Adanya kesetaraan gender antara wanita dan laki-laki dalam segala aspek kehidupan sangat berpengaruh positif terhadap eksistensi wanita baik yang sudah menikah atau belum menikah dalam proses mencipta tari maupun menari. Pada awalnya segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan seni tari selalu dihubungkan dengan keberadaan wanita yang lemah lembut, gemulai, halus, dan ekspresif, sehingga jarang sekali laki-laki yang mau menggeluti seni tari karena sering kali diidentikkan dengan laki-laki yang ke-wanita-an (banci) (Utina, 8 Agustus 2007). Sejalan dengan perkembangan waktu, seni tari sekarang ini bukan hanya sebagai komoditas wanita saja akan tetapi laki-laki juga berminat menggelutinya bahkan menjadikan sumber utama mata pencaharian. Dengan demikian, tidak ada lagi image yang mengatakan bahwa laki-laki lebih unggul dalam segala bidang termasuk seni tari, tetapi wanita juga mampu eksis dalam bidang seni tari khususnya sebagai pencipta tari maupun penari. Hal tersebut mendorong wanita untuk tetap eksis di dalam profesinya sebagai pencipta tari maupun penari.
2.2. Kultur (budaya)
Dalam kebudayaan Jawa, ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa seni bagi seorang wanita adalah tabu dan identik dengan masyarakat kelas menengah ke bawah, akan tetapi ada pula yang beranggapan bahwa menggeluti seni budaya adalah cermin budi pekerti yang luhur, sehingga wanita berhak tampil berprofesi sebagai seniman. Seperti halnya yang dilakukan oleh wanita dalam lingkungan keraton, mencipta tari dan menari adalah sebuah profesi yang hampir tidak pernah ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan untuk menjaga kelestarian seni dan budaya setempat. Hal inilah yang mendorong wanita untuk tetap eksis berprofesi sebagai pencipta tari dan penari.
2.3. Keluarga
Wanita, baik yang sudah menikah ataupun belum menikah dalam profesinya sebagai pencipta tari dan penari sangat membutuhkan dukungan dari keluarga dalam beraktifitas. Suami, anak, orang tua, dan saudara sangat mendukung eksistensi wanita yang sudah menikah baik sebagai pencipta tari maupun penari. Sementara itu, bagi wanita yang belum menikah, orang tua, saudara dan lingkungan, sangat berperan dalam eksistensinya sebagai pencipta tari dan penari terlebih lagi waktunya belum habis tersita oleh urusan keluarga.
2.4. Naluri Kewanitaan
Wanita dikenal dengan karakternya yang lemah lembut, halus, perasa, ekspresif dan mempunyai naluri yang tajam. Hal tersebut menjadikan salah satu pemicu wanita untuk berkarya dalam bidang seni tari. Dengan naluri kewanitaannya yang tajam, wanita mampu eksis sebagai pencipta tari maupun penari.
2.5. Latar Belakang Pendidikan
Latar belakang pendidikan mampu menjadi salah satu pendorong wanita untuk eksis sebagai pencipta tari maupun penari. Hal ini disebabkan karena pengetahuan dan ruang lingkup tentang penciptaan tari dan teknik-teknik menari sudah didapatkan melalui pendidikan yang ditempuh, sehingga sangat membantu dalam proses penciptaan tari dan menari.
2.6. Orientasi Komersial dalam Berkarya
Harga jual sebuah karya seni yang tinggi menjadi salah satu pemicu wanita untuk eksis sebagai pencipta tari maupun penari dengan harapan mampu menjadi sumber penghasilan tambahan ataupun sampingan.
D. Simpulan
Dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini, dari jumlah 20 orang wanita pencipta tari dan penari hanya 4 orang wanita yang masih eksis mencipta tari, dan 7 orang wanita yang eksis menari, sehingga dapat disimpulkan bahwa frekwensi aktifitas wanita pencipta tari dan penari masih sangat kecil dalam berkarya. . Hal ini disebabkan banyak faktor yang menghambat wanita untuk bisa eksis di dunia seni tari, meskipun begitu masih ada sebagian kecil wanita yang sejak masih gadis sampai setelah menikah masih tetap eksis di dunia seni tari.
Hal ini disebabkan banyak faktor yang menghambat wanita untuk bisa eksis di dunia seni tari, meskipun begitu masih ada sebagian kecil wanita yang sejak masih gadis sampai setelah menikah masih tetap eksis di dunia seni tari. Faktor yang menghambat wanita untuk eksis di dalam kegiatan mencipta tari dan menari, antara lain adalah : (1) rasa deskriminatif, (2) kultur (budaya), (3) keluarga, (4) naluri kewanitaan, (5) wanita pekerja, (6) latar belakang pendidikan, (7) Orientasi komersial dalam berkarya, (8) pandangan masyarakat, (9) apresiasi masyarakat yang masih rendah. Sedangkan faktor-faktor yang mendorong adalah (1) adanya kesetaraan gender, (2) kultur (budaya), (3) keluarga, (4) naluri kewanitaan, (5) latar belakang pendidikan, (6) orientasi komersial dalam berkarya.
DAFTAR PUSTAKA
Buchori. 1996. Sciene Seni & Fungsi Seni. Makalah Penataran Metodologi Penelitian.
Surakarta. 24-29 Agustus 1996.
Endang Ratih.2001. Pengambil Keputusan Bagi Wanita Untuk Menjadi Penari Lengger.
Laporan Penelitian. Lembaga
Penelitian UNNES
-------.2003. Citra Wanita Penari Tayub. Laporan
Penelitian. Lembaga Penelitian UNNES.
Humprey. Doris. 1983. Seni Menata Tari. Terj. Sal Murgianto. Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta.
Langer, Sussane K. 1988. Problematika Seni. Terj. FX. Widaryanto. Bandung : ASTI
Bandung.
Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi.
Jakarta : UI
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 1994. Pendekatan Sistem Budaya dalam Penelitian Seni dan
Pendidikan Seni (Sapuan Kuas Besar dalam Kerangka Ilmu Sosial), makalah
Seminar Nasional Pendekatan-Pendekatan dalam Penelitian Seni dan Pendidikan
seni, dalam rangka Dies Natalis XXIX IKIP Semarang : Semarang tanggal 11
April 1994.
Rusliana. Iyus. 1984. Seni Tari untuk KPG. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sedyawati, Edi. 1992. Cabang dan Ciri Seni. Jakarta. Pusat Penelitian Kemasyarakatan
dan Budaya. Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Soedarsono. 1978. Pengantar Pengetahuan Tari. Yogyakarta : ASTI.
The Liang Gie. 1974. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta : Karya.
Jumat, 12 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Slots & Games at Sands Casino
Enjoy 카지노 our wide range of casino games including 샌즈카지노 progressive jackpot slots, baccarat, blackjack, roulette and more at Sands Casino. We have over 500 of the 온카지노 latest slots and
Posting Komentar